Home Ads

Senin, 30 September 2019

Resensi Buku Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer


Adu Tajam Pena dan Uang





Judul Buku: Anak Semua Bangsa
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Cetakan: 13, September 2011
Penerbit: Lentera Dipantara
Halaman: 539 halaman
Peresensi: Aida Mudjib

"...menulis bukan hanya untuk memburu kepuasan pribadi. Menulis harus juga mengisi hidup." Jean Marais, halaman 280

*

PENA dapat menginspirasi banyak orang. Pena dapat menerjemahkan berbagai ide yang ada di kepala manusia. Pena dapat menggerakkan hati ribuan dan bahkan jutaan orang untuk melakukan sesuatu. Apa yang dihasilkan sebuah pena bisa berubah wujud menjadi sebuah letusan dahsyat dalam bentuk revolusi, penentangan, perlawanan. Pena bisa membuat ribuan bahkan jutaan orang kehilangan nyawanya. Bukan satu atau dua saja tetapi bisa beribu kali lipat daripada yang bisa dihilangkan oleh sebuah pedang. 

Berbahaya.

Pena Minke juga membawa bahaya, membuat nyawa banyak orang meregang. Ketika yang dihadapinya adalah kekuatan uang.

Anak Semua Bangsa merupakan novel kedua dari tetralogi Pulau Buru. Tiga novel lainnya ialah Bumi Manusia, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah. Peristiwa-peristiwa yang ada di dalam novel ini terjadi pada permulaan abad ke-20. Ada beberapa istilah Belanda yang diterjemahkan oleh Pram dengan catatan kaki, seperti sekaut; zuivel; transvaal; dan Oranje Vrijstaat.

Jika Bumi Manusia diakhiri dengan ketidakberdayaan Minke dan Nyai Ontosoroh untuk melindungi dan mempertahankan Annelies dari renggutan Maurits Melema, Anak Semua Bangsa dimulai dengan suasana duka karena datangnya telegram dari Jan Dapperste yang mengabarkan kematian Annelies. Kematian Annelies ini merupakan tonggak baru bagi Minke dan Nyai Ontosoroh. Minke mulai tumbuh menjadi pemuda terpelajar Belanda, yang sebelumnya berorientasi pada pola pikir kaum terdidik Belanda berubah menjadi Minke yang sadar akan lingkungannya sendiri. 

Apa yang dipuji-puji oleh Minke dan kaum terpelajar Belanda lainnya ternyata diremehkan oleh kawan-kawan dekat Minke yang mempunyai orientasi kepada kaum pribumi, seperti Jean Marais dan Kommers. Pada awalnya Minke tersinggung. Ia oleh kawan-kawannya dinyatakan sebagai penulis buruk. 

Kritikan dari kawan-kawan dekatnya ini menyebabkan Minke harus berlibur ke desa. Di desa inilah Minke bertemu dengan petani yang bernama Kromodongso. Kromodongso sosok seorang petani yang tidak dapat mempertahankan tanahnya dari jangkauan tangan para pemilik perkebunan gula. Tidak hanya tuan-tuan Belanda bermodal yang menjadi musuh Kromodongso, tetapi juga pamong desa yang menginginkan kedudukan lumayan dengan adanya pabrik-pabrik gula tersebut. 

Minke menyadari petani-petani itu tidak memiliki pembela. Ia kemudian memutuskan untuk membela petani-petani itu. Minke mulai menulis di surat kabar tempatnya biasa bekerja. Tanpa Minke sadari, reportasenya mengenai penderitaan kromodongso akan berbalik membawa petaka, karena ternyata korannya juga dimiliki dan dimodali oleh para pemilik pabrik gula. para pemilik modal gula tidak mau menerbitkan tulisan-tulisan minke tersebut. 

Saat itulah Minke sadar sepenuhnya bahwa ia harus menulis dengan bahasanya sendiri tentang rakyatnya sendiri dan dibaca oleh bangsanya sendiri. 

Novel kedua ini pada hakikatnya merupakan suatu analisis kritis terhadap apa yang menyengsarakan kehidupan begitu banyak orang, dipaparkan secara luas dan mendasar benih-benih dan pokok kebangkitan bangsa-bangsa terjajah di awal abad ke-20. Lahirnya pikiran-pikiran baru dalam gelombang perubahan itu memberikan daya saran yang kuat pada gerak pikir Minke. Minke tidak lagi melihat lingkungannya hanya dalam ruang lingkup yang terbatas yang hanya dibatasi oleh kelemahan pribadi. 

Apabila dalam Bumi Manusia pemikiran tokohnya baru terbatas pada individu, sehingga penderitaan yang dialami dan dijalani berhenti sebagai penderitaan perorangan, dalam Anak Semua Bangsa hal itu dipahami sebagai sebuah sistem kemasyarakatan tertentu yang melahirkan kekejaman atas rakyat. Minke yang selama ini hanya hidup di lingkungan terdidik dan priyayi pun menjadi peka terhadap penderitaan pribumi. Bahwa penderitaan yang ia alami secara pribadi dengan kehilangan Annelies hanyalah segelintir saja dari penderitaan yang dialami banyak orang dalam lingkungan terjajah.

Jombang, 5 Oktober 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *