Home Ads

Selasa, 17 Desember 2019

Resensi Buku Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer

POLITIK ETIS DAN SENJATA MAKAN TUAN DALAM RUMAH KACA


Judul: Rumah Kaca
Pengarang: Pramoedya  Ananta Toer
Tahun: 2006
Penerbit: Lentera Dipantara
Tebal: 646 halaman
Genre: Fiksi
Peresensi: Aida Mudjib

Pada tahun 1899, pengacara liberal Belanda Conrad Theodor Van Deventer menerbitkan sebuah esai dalam jurnal Belanda De Gids yang mengklaim bahwa pemerintah kolonial memiliki tanggung jawab moral untuk mengembalikan kekayaan yang telah diterima Belanda dari Hindia Timur kepada penduduk asli. Jurnalis lain, Pieter Brooshooft juga menulis tentang tugas moral Belanda untuk berbuat lebih banyak bagi rakyat Hindia. Dengan dukungan kaum sosialis dan Belanda kelas menengah yang peduli, ia berkampanye menentang apa yang ia lihat sebagai ketidakadilan dari surplus kolonial. Pada masa itu, surat kabar adalah salah satu dari sedikit media komunikasi Hindia ke parlemen Belanda, dan untungnya sebagai editor De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda terbesar di Hindia, Brooshoft juga menerbitkan tulisan Snouck Hurgronje untuk memahami orang Indonesia. 

Brooshooft mengirim reporter ke seluruh nusantara untuk melaporkan perkembangan lokal; Mereka melaporkan kemiskinan, kegagalan panen, kelaparan, dan epidemi pada tahun 1900. Pengacara dan politisi yang mendukung kampanye Brooshooft mengadakan audiensi dengan Ratu Wilhelmina dan berpendapat bahwa Belanda berutang 'hutang kehormatan' kepada masyarakat Hindia. Akhirnya untuk meredam situasi politik, Pada tahun 1901, Sang Ratu, di bawah nasehat dari perdana menteri Partai Anti Revolusioner Kristen, secara resmi menyatakan 'politik etis' yang bertujuan membawa kemajuan dan kemakmuran bagi rakyat Hindia. Penaklukan Belanda atas Hindia menyatukan mereka sebagai satu kesatuan kolonial pada awal abad ke-20, yang merupakan dasar bagi implementasi kebijakan tersebut. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Para pendukung kebijakan etik berpendapat bahwa transfer keuangan tidak boleh dilakukan ke Belanda sementara kondisi untuk masyarakat di kepulauan itu buruk. Harus dilakukan transfer budaya terlebih dahulu sebelum dana dikucurkan agar pribumi juga bisa mengelola dengan baik. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya. 

Politik etis sangat berpengaruh dalam bidang pengajaran dan pendidikan yaitu dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah satu orang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam hal ini adalah Mr. J.H. Abendanon-dia juga suami Nyonya Abendanon sahabat RA Kartini-, Sejak tahun 1900 mulai berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah. Terjadi pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Mulai banyak berdiri organisasi pergerakan nasional sebagai suatu dampak dari berkembangnya mental dan pemikiran bangsa Indonesia sebagai salah satu hasil dari kemajuan pendidikan nasional yang dialami oleh para penduduk pribumi khususnya.

Politik dalam negeri Hindia-Belanda memanas karena masyarakat menggeliat. Politik etis berbalik bak senjata makan tuan. Situasi di Hindia Belanda awal abad ke-20 dimana kebangkitan nasionalisme dan kesadaran persatuan yang dimiliki kaum-kaum terpelajar pribumi dengan didikan ala Eropa, hasil dari politik etis inilah kepingan  yang dirangkai dengan indah oleh Pak Pram dalam buku terakhir tetraloginya. 

Rumah kaca, bagi saya lebih seperti spin-off. Tokoh utama tiga novel sebelumnya, Denmas Minke digantikan oleh Jaques Pangemanann. Ia merupakan ‘lawan’ dari tokoh Minke. Pangemanann adalah seorang pribumi  asal manado yang diangkat anak oleh seorang warga negara prancis. ia adalah seorang polisi berprestasi dan memiliki kecakapan khusus untuk menangani perkara-perkara ‘halus’. Suatu hari ia dipindahtugaskan ke kantor Algemeene Secretarie dan ditugaskan untuk mengawasi seluruh organisasi-organisasi pribumi yang ada saat termasuk organisasi Minke. Pangemanann sebenarnya sangat menghormati sosok Minke membaca tulisan-tulisan yang dibuat oleh Minke. Tetapi karena Pangemanann mengabdi pada pemerintah kolonial, ia tetap berusaha melumpuhkan segala kegiatan Minke. Ia terus mencari-cari kesalahan Minke. Seluruh kekayaan dan aset yang dimiliki Minke disita, fitnah disebarkan bahwa Minke mempunyai hutang bank dan setiap orang yang memiliki hubungan dengan Minke akan dicurigai dan diperiksa oleh kepolisian. Situasi ini membuat semua orang tidak ada yang berani menjalin hubungan kembali dengan Minke. Sampai pada suatu saat, Minke jatuh sakit, stress dan akhirnya meninggal dunia. 

Novel ini mengasikkan dan lebih menarik dari tiga buku sebelumnya dalam tetralogi pulau buru. Latar kondisi pembangunan masyarakat pada masa politik etis yang terhalang great depression dan simalakama kaum kolonial sendiri digambarkan dengan begitu detail. Pergeseran tokoh utama Minke ke Pangemanan memang membuat novel ini terlihat terpisah dari karya-karya Pramoedya yang lain seperti “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa” dan “Jejak Langkah”. Namun sebenarnya novel “Rumah Kaca” juga merupakan kelanjutan dari ketiga jilid buku sebelumnya karena diakhir novel dimana Pangemanann sebelum kematiannya mengembalikan semua coretan, catatan dan naskah Minke yang disita pemerintah pada Madame Sanikem Le Boucq, mertua pertama dan ibu angkat Minke yang mencari-cari Sinyo-Denmas Minke. Naskah yang sama yang dibaca oleh Pangemanann untuk mengetahui pemikiran minke serta orang-orang disekitarnya. Pangemanann juga menyerahkan manuskrip yang ditulisnya, berjudul rumah kaca yang berisi seluruh pengalaman dan penyesalannya telah mendorong Minke –yang katanya sangat ia hormati, menuju ajal.

Akhir yang mengingatkan saya pada Samwise Gamgee yang menyerahkan Buku Merah Westmarch pada keturunannya sebelum menyusul Frodo. Buku merah westmarch entah bagaimana berhasil diterima  kemudian diterjemahkan Tolkien ke bahasa negeri westron dan kita baca.

Pak Pram juga, entah lewat siapa berhasil mendapatkan semua manuskrip Minke dan Jacques Pangemanann dari Sanikem untuk kemudian kita nikmati.

Brilliant.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *