Home Ads

Senin, 01 Juni 2020

Resensi Buku The Language of Defamation Cases, Roger Shuy

Judul: The Language of Defamation Cases
Pengarang: Roger Shuy
Tahun: 2010
Penerbit: Oxford University Press
Tebal: 251 halaman
Genre: Nonfiksi
Peresensi: Nur Inda Jazilah

Akhir-akhir ini, sering kita jumpai laporan kasus pencemaran nama baik. Pencemaran nama baik atau defamasi ini diatur dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan pada 21 April 2008. UU 11/2008 ini kemudian dalam perjalanannya diubah dengan UU 19/2016. Umumnya, dakwaan UU ITE ini jo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 310 (pencemaran nama baik), atau 311 (fitnah). Tirto [1] melaporkan bahwa Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat ada 271 laporan kasus UU ITE. Kasus-kasus defamasi umumnya meninggalkan bahasa sebagai barang atau bahkan alat bukti (language as evidence). Salah satu cabang kajian linguistik terapan i.e. linguistik forensik membahas isu-isu bahasa yang bersinggungan dengan dunia hukum, salah satunya adalah defamasi. Roger Shuy adalah salah satu tokoh kunci dalam linguistik forensik yang puluhan karyanya dijadikan rujukan oleh praktisi dan akademisi dalam menganalisis kasus. Khusus dalam bukunya yang berjudul The Language of Defamation Cases (Bahasa Kasus Defamasi) ini, ia mengilustrasikan bagaimana ia memecahkan sebelas kasus defamasi menggunakan sudut pandang linguistik forensik.

Diawali dengan bagian Pembukaan yang membahas tentang hukum defamasi dan bagaimana linguis dapat membantu. Tak heran jika bab ini lebih banyak mengutip kasus-kasus dan aturan di Amerika karena memang basis Shuy di sana. Bagi mereka yang tinggal di negara dengan sistem hukum inkuisitorial seperti di Indonesia atau sebagian besar negara di Eropa tidak akan menemukan praktik anteseden sebagaimana yang Shuy tuliskan (hal. 16-22). Anteseden adalah praktik merujuk ke hukum terdahulu yang biasa dijumpai di negara-negara yang menganut sistem hukum adversarial. Akan tetapi, mempelajari kasus terdahulu juga patut dipertimbangkan untuk mengenali ciri kasus defamasi—meski kasus terjadi di negara dengan sistem inkuisitorial.

Bab 2 yang berjudul How Linguistics Fits into the Picture adalah jantung dari buku ini. Bagaimana Shuy memecahkan kasus defamasi, yang ia tuangkan analisisnya dalam bab 3-16, banyak terinspirasi dari teori Tiersma[2] (1987) tentang ciri kalimat yang dianggap mencemarkan nama baik. Ia menganggap defamasi paling cocok didefinisikan sebagai tindak ilokusi menuduh. Ilokusi adalah salah satu bagian dari teori tindak tutur Austin[3] yang berarti ada “paksaan” dalam setiap ucapan. Lebih lanjut, Shuy berpendapat bahwa mayoritas laporan defamasi diproses hanya dengan pertimbangan peristiwa komunikatif satu sisi, yakni sisi pelapor. Pengadilan seringnya hanya berfokus pada efek perlokusi dari satu ucapan atau tulisan. Perlokusi, menurut Austin,[4] berarti dampak atau efek yang ditimbulkan dari sebuah tuturan. Dalam hal ini, efek yang dimaksud adalah ada orang yang tercemar nama baik atau kehormatannya. Yang sering luput selama proses pengadilan justru adalah pertimbangan terhadap intensi penuturnya.

Shuy menilai meski pada hakikatnya tidak ada satupun ilmu pengetahuan yang bisa menilai niatan seseorang atas ucapannya, tetapi fitur-fitur linguistik bisa menjadi kunci untuk melihat intensi tersebut. Untuk menganalisis intensi penutur ini, discourse structure and framing dapat diaplikasikan sebagaimana Shuy menganalisis kasus pada bab 10-13. Pada intinya, untuk melihat apakah seseorang dengan sengaja melakukan defamasi, penghinaan, fitnah, atau bahkan penistaan agama tercermin dari struktur diskursus secara keseluruhan. Misalnya, kasus Ahok yang didakwa penistaan agama dalam pidatonya di Pulau Seribu tahun 2016 silam bisa dinilai berdasarkan struktur diskursusnya. Konteks pidato tersebut adalah tentang melestarikan tambak untuk memudahkan kinerja nelayan. Hanya dua dari dua puluhan menit Ahok mengeluarkan pernyataan yang kemudian menyeretnya ke meja hijau. Dengan melihat proporsi ini, bisa dikatakan bahwa tidak ada niatan untuk menista agama karena sebagian besar dari isi pidato tersebut adalah tentang budidaya tambak.

Poin menarik lainnya dari buku ini adalah Shuy menggunakan beberapa pendekatan yang berbeda untuk menganalisis kasus-kasus defamasi. Hal ini yang masih jarang dipraktikkan di iklim riset linguistik di Indonesia, yang mengakibatkan riset linguistik di Indonesia cenderung monoton dari segi pendekatan yang dipakai. Sering kali pengajar linguistik memaksa anak bimbingannya untuk menggunakan satu pendekatan yang bisa jadi tidak cocok untuk menganalisis data yang ada. Ketidakcocokan pendekatan ini besar kemungkinannya akan berujung pada analisis yang superfisial. Terlebih lagi dalam linguistik forensik, riset-risetnya bersifat data-driven, di mana data yang ada dipelajari dahulu untuk kemudian bisa menentukan pendekatan mana yang paling sesuai untuk mendapatkan hasil analisis yang optimal.

Sayangnya, buku ini tidak menyediakan ground truth dari setiap kasus yang dianalisis, meninggalkan tanda tanya bagi para pembaca: apakah analisis linguistik di buku ini membantu tersangka keluar dari jeratan tuduhan defamasi. Akan tetapi, alasan Shuy tidak mencantumkan ground truth juga tidak sepenuhnya keliru. Karena pada hakikatnya analisis linguistik sifatnya interpretatif, dan interpretasi (dan analisis) seseorang sangat bergantung pada khazanah keilmuannya.

Meski buku ini awalnya didesain untuk mereka yang mendalami linguistik forensik, tidak ada salahnya publik juga membaca buku ini. Kolaborasi linguistik (forensik) dan praktisi atau akademisi hukum dalam kasus-kasus pencemaran nama baik tentu akan menyumbangkan perspektif baru terhadap kepolisian dan pengadilan, tentang bagaimana baiknya memproses kasus defamasi. Pun, publik perlu tahu bagaimana seharusnya menyikapi ucapan atau tulisan yang dianggap mencemarkan nama baik. Pemahaman tentang defamasi akan menjadi lebih utuh jika membaca buku ini ditemani dengan karya Peter Tiersma yang berjudul The Language of Defamation.

[1] Lihat Banjir Kasus Pasal Karet UU ITE Sepanjang 2019
[2] Lihat Tiersma, P. (1987). The Language of Defamation. Texas Law Review Vol. 66: 303.
[3] Austin, J. (1962). How to Do Things with Words (Bagaimana Melakukan Kegiatan dengan Kata). Oxford: The Clarendon Press.
[4] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *