Home Ads

Sabtu, 20 Juni 2020

Resensi Buku Si Jlitheng Dongeng Bocah Abasa Jawa, Impian Nopitasari


Judul Buku: Si Jlitheng, Dongeng Bocah Abasa Jawa
Pengarang: Impian Nopitasari
Ilustrator: Nai Rinaket
Penerbit: Babon
Tahun Terbit: 2020
Jumlah Halaman: 52
Genre: Dongeng Fabel Berbahasa Jawa
Peresensi: Iffah Hannah

Sebelumnya, saya tidak pernah berniat membeli buku cerita berbahasa Jawa. Selain karena buku seperti itu jarang ditemui, saya juga tidak suka-suka amat dengan jenis cerita seperti itu. Jadi, ketika penulis menawarkan buku “Si Jliteng” ini, keputusan saya untuk membeli bukunya lebih pada bentuk apresiasi dan rasa “tresna” pada teman sendiri yang bukunya baru terbit.

Ketika buku ini tiba diantar Pak Pos, saya juga tidak terlalu antusias untuk segera membukanya. Baru setelah anak perempuan saya yang berusia 3.5 tahun bertanya paket apa itu berkali-kali, saya akhirnya memutuskan untuk membuka bungkusan tersebut. Begitu tahu isinya buku dongeng, dia langsung minta didongengi. Dan saat mulai membaca cerita itu lah saya baru sadar, lah kok ceritanya bagus gini!

Buku dongeng berbahasa Jawa ini terdiri dari 4 cerita yang dilengkapi dengan ilustrasi berwarna di setiap halamannya. Membaca cerita-cerita ini saya jadi sadar bahwa ternyata cerita bahasa Jawa bisa puitis dan indah begini. Cerita pertama berjudul “Dongenge Pitik karo Bebek” yang mengisahkan si Blorok, ayam betina, yang mengerami 6 butir telurnya. Ketika menetas, 5 telur yang menetas pertama menghasilkan anak-anak ayam yang lucu-lucu, sementara 1 telur yang menetas belakangan menghasilkan wujud buruk rupa yang berbeda dengan kelima saudaranya. Oleh karena itu, anak keenam ini diberi nama si Ala, atau dalam bahasa Indonesia mungkin bisa diterjemahkan menjadi si Buruk Rupa. Karena rupanya yang berbeda, ia dikucilkan oleh kelima saudaranya. Dalam sedihnya, si Ala mendapatkan nasihat dari ibunya:

“Wis ora usah mbok lebokke ati, pancen panemu iku beda-beda, sing penting awake dhewe kabeh kudu nglakoni bab sing becik, ati becik iku luwih wigati tinimbang rupa.” (nasihat si Blorok pada si Ala, hal. 9)

Sehingga ketika suatu hari, kelima saudaranya tercebur kolam, tanpa pikir panjang, si Ala langsung menceburkan dirinya untuk menolong saudara-saudaranya. “Ora mangkono patrape si Ala. Ngerti sedulure ana ing bebaya, dheweke langsung njegur blumbang. Dheweke cancut taliwanda nulungi sedulure kuwi, ora mikir bakal slamet apa ora. Dheweke kelingan welinge simboke yen urip iku kudu tansah nglakoni kabecikan, rupa bagus utawa ala ora dadi ngapa.” (hal. 10).

Membaca narasi Impian Nopitasari di cerita pertama membuat mata saya berkaca-kaca merasakan perasaan campur-aduk yang berkecamuk di dada. Saya betul-betul baru menyadari bahwa kalimat-kalimat Impian Nopitasari dalam ceritanya memiliki kekuatan sedahsyat itu. Dongeng fabel sederhana, berbahasa Jawa pula! tapi maknanya begitu dalam. Tanpa menggurui sama sekali, narasinya membangkitkan perasaan-perasaan halus dalam batin pembaca.

Ketiga cerita lainnya berjudul “Kodhok lan Bekicot”, “Ndara Anyar”, dan “Si Jlitheng”. Sebagaimana cerita pertama, ketiga cerita tersebut juga masih berkisah tentang hewan-hewan dan bagaimana mereka bergelut dengan salah satu episode kehidupannya. Menghadapi rasa putus asa, sedih, tidak berdaya dan bagaimana merespon hal-hal tersebut. Dengan penceritaan yang sangat mengalir dan kisah-kisah berisi kebijaksanaan tanpa khotbah menyebalkan, buku ini bahkan tidak hanya cocok dibaca (atau dibacakan untuk) anak-anak, tetapi juga sangat cocok dibaca oleh orang dewasa. Dan membaca buku ini, saya jadi menantikan karya-karya Impian Nopitasari berikutnya, sekaligus menantikan cerita-cerita bahasa Jawa lainnya. Memang di jaman sekarang, sastra berbahasa daerah cukup susah ditemui (karena salah satunya juga tidak banyak orang yang mencari), sehingga kemunculan “Si Jlitheng” ini memberikan harapan besar pada masa depan sastra berbahasa daerah, khususnya bahasa Jawa. 

Bagi teman-teman pecinta buku, khususnya mereka yang memiliki latar belakang bisa berbahasa Jawa, buku “Si Jlitheng” ini sebaiknya tidak dilewatkan. Selain sebagai upaya “nguri-uri” bahasa Jawa, isi buku ini juga bagus, jadi saya yakin teman-teman yang membaca tidak akan kecewa kalau membacanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *