Home Ads

Senin, 31 Agustus 2020

Resensi Buku Wed Matters, Afiyanti W


Judul Buku: Wed Matters
Pengarang: Afiyanti W
Penerbit: PT Agromedia Pustaka
Tahun Terbit: 2005
Jumlah Halaman: 192 halaman
Genre: Fiksi
Peresensi: Luly Prastuty

“Tidak ada buku yang jelek” 

Menjadi mantra yang menaungi kepala saya saat membaca novel ini. Ternyata benar, ada banyak yang didapat setelah menyingkirkan berkali-kali stereotip tersebut. Tahap pertama demi benar-benar mengapresiasi karya sastra adalah menikmatinya.

“Kita membaca sastra seperti orang yang ingin tahu. Jadi, bukannya sudah tahu. Itu namanya sok tahu.” – Seno Gumira Ajidarma

Bagaimana bisa pembaca merasa tahu segalanya tentang suatu buku, sementara jalinan ide manusia teramat kompleks? Seberapa sering kita merasa paling tahu—bisa menebak—alur cerita selanjutnya? Ya, memang tidak dinyana pemikiran semacam itu kadang datang menggoda. Namun sebagai pembaca yang berotonomi, kita juga berhak mengendalikannya. Kita punya kendali penuh atas persepsi kita tentang buku yang dibaca.
Untuk menilai sebuah karya sastra, kita tidak bisa memandangnya secara absolut ini pasti bagus, ini pasti jelek. Padahal, tujuan dari membaca tentu tidak menghakimi. Pelajaran bisa didapat dari mana-mana, pun dari novel kecil berdimensi 11 x 18 cm ini. Wed Matters menceritakan tentang kisah seorang karyawati bernama Saras yang dirundung kebimbangan akan keseriusan pacarnya, Tito, untuk menikahinya. Saras yang juga masih ragu berkali-kali diingatkan sahabatnya, Lea, agar lebih berhati-hati dan selektif menerima Tito sebagai suaminya. Menurut Lea, ada banyak hal yang bisa Saras lakukan sebagai seorang wanita merdeka dan pernikahan menjadi belenggu itu nantinya. Saras menghargai pendapat itu namun ia berusaha tetap berpikir jernih. 

Sebagai pembaca, saya apresiasi respon Sarah dalam mencari keteguhan hati sebelum mengiyakan ajakan Tito untuk menikah. Hingga suatu hari, Saras melihat Tito tampak mesra menikmati makan malam dengan wanita lain. Saras yang saat itu tidak terima hanya bisa menangis tersedu-sedu. Sejenak, ia memutuskan kontak dengan lelaki itu dan berusaha mengumpulkan kesadarannya kembali. Perjalanan Sarah dalam mengobati luka hatinya beriringan dengan pesan-pesan tentang pentingnya mempertahankan hubungan dari kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga. Pelajaran tentang kematangan hubungan kembali mendapat tantangan saat Saras bertemu seorang lelaki rupawan yang membuatnya terpesona. Tetapi, pada akhirnya, segala rintangan yang terjalin justru menguak semuanya, tentang siapa Tito dan bagaimana ia memandang Saras di hidupnya.
Keputusan-keputusan Saras dan dinamika emosi yang dinarasikan dalam novel ini bisa dikatakan natural. 

Saya bisa membayangkan kejadian serupa dialami orang lain di dunia nyata—sangat memungkinkan. Namun, ada beberapa stereotip yang masih menggelayut di ruang-ruang fiksi ini terutama dari segi deskripsi tokoh yang masih terkesan sangat ‘ideal’. Saya rasa, stereotip ini terkonstruksi dalam imajinasi penulis yang terpengaruh konsumsi film, lagu dan drama remaja. Alur cerita ini menjadi gambaran sosial kuatnya patriarki di masyarakat Indonesia–tentang betapa idealnya sosok lelaki seperti Tito dan Rifaldy hingga sesederhana bagaimana abang tukang parkir menggoda Saras saat ia hendak masuk ke restoran. Bahasa yang digunakan yaitu bahasa tutur sehingga ringan namun tidak begitu informal, membuatnya masih nyaman dibaca. Meskipun demikian, ada beberapa bagian di dalam novel bercerita tentang realita kehidupan masyarakat Indonesia, terutama tentang bagaimana pernikahan dimaknai dan dijalani. 

Buku ini berisi pencarian makna hubungan dan pernikahan dari beberapa sudut pandang, terutama tentang bagaimana komitmen berwujud dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai seorang pembaca yang juga sedang mencari beragam perspektif tentang pernikahan, buku ini cukup menyenangkan dan memperluas wawasan. Realita-realita cinta berseliweran di sekitar namun tidak semuanya bisa dimaknai mendalam dan novel ini sedikit membantu potret itu. Saya bersyukur karena dipertemukan kembali dengan novel yang sudah lama berdesakan dengan buku lain di rak ini—buku yang bahkan saya sudah lupa eksistensinya. Sewaktu saya menemukannya, buku ini masih tersegel sempurna. Satu hal yang saya ingat dari buku ini hanyalah hadiah sebagai isi goodie bag acara di Perpustakaan Daerah Kota Bontang tahun 2014 silam. Ya, sudah sangat lama. Rupanya saya butuh waktu lama untuk meminimalisasi rasa geli akan judulnya, dengan usia yang kini sudah dewasa. Pernikahan bukan topik yang meragukan untuk diselami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *