Home Ads

Kamis, 29 Oktober 2020

Resensi Kelir Slindet karya Kedung Darma Romansha



Judul buku: Kelir Slindet
Penulis: Kedung Darma Romansha
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2014
Jumlah halaman: 254
Genre: Fiksi
Peresensi: Iffah Hannah

“Aku jadi teringat cerita Jamal, dulu orang-orang Islam Gujarat berdagang sambil berdakwah. Tapi sekarang aku lihat, sudah mulai berubah. Berdakwah untuk berdagang.” (hal. 171)

Baru-baru ini, dunia sastra Indonesia cukup diramaikan dengan hadirnya novel-novel etnografis seperti Orang-orang Oetimu karya Felix K. Nesi dan Burung Kayu karya Niduparas Erlang. Sehingga, tiba-tiba semua orang jadi ramai berbicara soal novel etnografis. Sebetulnya bertahun sebelumnya, ada beberapa novel etnografis yang jarang dibicarakan orang seperti Jharan Kencak yang ditulis Rida Fitri (kapan-kapan akan saya tulis resensinya) juga Kelir Slindet yang ditulis Kedung Darma Romansha enam tahun lalu. 

Kelir Slindet terbit pertama kali di 2014 dan kini diterbitkan kembali dengan cover berbeda oleh penerbit Mojok. Sebelum diterbitkan, naskah ini pernah memenangkan sayembara Roman Tabloid Nyata. Penulisnya, Kedung Darma Romansha, adalah seorang santri yang multi-talent. Selain dikenal sebagai penyair, ia dikenal juga sebagai novelis, cerpenis, dan aktor yang bermain di beberapa film.

Novel karya Kedung ini rasanya sayang untuk dilewatkan begitu saja. Ia menarasikan kisah orang-orang Indramayu, tempat kelahirannya, dengan memukau. Persoalan kemiskinan, dangdut tarling, percintaan, politik, kekuasaan, dan kemunafikan jalin-menjalin dalam novel setebal 240-an halaman itu. Berpusat pada Safitri, gadis 14 tahun dengan suara indah, yang saling jatuh cinta dengan Mukimin, yang sama mudanya, kisah ini cukup mengaduk-aduk perasaan pembaca dengan konflik-konflik yang berputar di sekitar dua orang tersebut.

Sebagai anak seorang telembuk (pekerja seks) dan bajingan, posisi Safitri di masyarakat jelas diremehkan dan dianggap sebelah mata. Apalagi ditambah dengan parasnya yang cantik dan suaranya yang indah, kedengkian orang-orang terhadapnya semakin subur belaka. Ketika orang-orang mengetahui bahwa anak pertama Haji Nasir, seorang kuwu kaya yang cukup terpandang di desa, yaitu Musthafa, datang untuk melamar Safitri, desas-desus semakin ramai di masyarakat. Safitri dituduh punya susuk atau pengasihan. Selepas mondok di pesantren, Musthafa pulang ke Indramayu dan mengajar ngaji di mushola ayahnya, Haji Nasir. Di sanalah, ia bertemu dengan Safitri yang selain menjadi muridnya juga menjadi vokalis grup kasidah bimbingannya. Namun sayang, cinta Musthafa pada Safitri bertepuk sebelah tangan. Meskipun Saritem, ibu Safitri, berkali-kali mendorong anaknya untuk menerima lamaran Musthafa namun Safitri bergeming. Berharap hidupnya akan berubah lewat perantara anaknya, Saritem meninggalkan pekerjaannya sebagai telembuk. Ia berusaha memantaskan diri jika ternyata jodoh menakdirkannya menjadi besan Haji Nasir. Tapi usahanya ternyata sia-sia. Haji Nasir tidak sudi berbesan dengan keluarga telembuk dan bajingan. Maka pupus sudahlah harapan Saritem untuk memiliki hidup yang lebih baik dan terpandang di masyarakat.

Ketika orang-orang kemudian mengetahui bahwa laki-laki yang disukai Safitri ternyata adalah Mukimin, yang tidak lain merupakan adik Musthafa, omongan miring masyarakat tentang dirinya semakin membabi-buta. Meskipun saling mencintai, Mukimin tidak berani melamar Safitri karena ia menyadari dirinya masih terlalu muda. Hal itu membuat Safitri begitu kecewa. Patah hati karena cintanya kandas, Safitri meninggalkan perannya sebagai vokalis kasidah pimpinan Musthafa dan malah menjadi penyanyi dangdut tarling. 

Lamaran yang ditujukan pada dirinya tak juga berhenti. Ada Muhidin dan Safrudin, ustad-ustad alumni pesantren yang jatuh cinta dengan Safitri dan datang untuk meminangnya dengan dalih ingin mengembalikan Safitri ke jalan yang lurus; biar Safitri menjadi penembang kasidah saja, jangan menjadi penyanyi dangdut tarling. Tetapi Safitri dengan teguh hati menolak semua lamaran itu. 

“Aku tidak suka. Lebih enak nyanyi dangdut, bisa cari uang sendiri,” ketus Safitri sambil melengos ke kamarnya. (hal. 188)

Di usianya yang belia, ia harus bertahan dengan omongan-omongan miring dan penghakiman masyarakat hanya karena ia anak telembuk dan bajingan. Apalagi ketika kemudian diketahui kalau ternyata Safitri hamil, orang-orang semakin kasak-kusuk tanpa ampun. Beberapa mencelanya namun mendambakan tubuhnya, sisanya menghujat penuh kedengkian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *