Home Ads

Rabu, 20 April 2022

Resensi Buku Seperti Memakai Kacamata yang Salah, Karya Lies Marcoes


 


Judul Buku: Seperti Memakai Kacamata Yang Salah, Membaca Perempuan dalam Gerakan Radikal

Pengarang: Lies Marcoes

Penerbit: Afkaruna

Tahun Terbit: Februari, 2022

Jumlah Halaman: 126

Genre: Nonfiksi, Perempuan

Peresensi: Iffah Hannah

 

Ketika buku ini pertama tiba, saya merasa cukup lega dan sedikit sombong, “Asyik tipis, bisa dibaca sekali duduk nih,” karena beberapa waktu terakhir sudah mulai nggak kuat baca buku lama-lama. Mungkin min nambah, atau entahlah, saya belum sempat pergi ke dokter mata lagi untuk mengecek. Ternyata prasangka saya salah. Ya betul sih bukunya tipis, tapi agak sedikit berat dan membuat berkali-kali menghela nafas frustasi membayangkan perempuan-perempuan di balik peristiwa terorisme yang terjadi beberapa kali di Indonesia yang dituturkan dalam buku ini.

Ada delapan esai pendek di dalam buku ini yang membahas bagaimana sebetulnya peran para perempuan dalam gerakan radikal. Esai-esai ini menjadi penting karena selama ini peran perempuan dalam gerakan radikal dianggap sebatas peran pendukung semata, semacam pelengkap penderita lah. Nah anggapan itu pada akhirnya berimbas pada upaya pemberantasan terorisme yang bisa jadi tidak terlalu berhasil, karena mengabaikan keberadaan perempuan sebagai salah satu subjek utama dalam aksi-aksi terorisme. Di sinilah pentingnya perspektif gender dalam melihat isu-isu terorisme.

Dalam salah satu esainya, Lies Marcoes menjelaskan bahwa single story atau narasi tunggal tentang terorisme yang selama ini beredar menekankan pada: prasangka tentang Islam, narasi tunggal tentang keterancaman negara, dan narasi bahwa aktor tunggal terorisme adalah laki-laki. Dalam buku ini, Lies Marcoes menggugat narasi tersebut dengan menjelaskan bahwa prasangka tentang Islam itu menegasikan fakta sejarah perjuangan umat Islam dalam menentang penindasan dan ketidakadilan. Selain itu, narasi keterancaman negara selama ini juga berfokus melihat bagaimana negara menjadi satu-satunya yang terancam oleh isu terorisme, padahal jika melihat perspektif gender, yang mengancam kehidupan perempuan bukanlah isu terorisme tetapi kehidupan itu sendiri: teror kemiskinan, teror kekerasan, teror ekonomi dsb. Narasi terakhir yang menempatkan laki-laki menjadi aktor tunggal terorisme juga menegasikan peran perempuan sebagai aktor atau subjek dalam peristiwa teror. Kegagalan dalam melihat peran perempuan dalam isu terorisme karena terjebak dalam narasi arus utama, menurut Lies Marcoes, membuat kita gagal membaca ancaman terorisme sekaligus menawarkan solusi untuk mengatasi terorisme.

Saya juga sangat terkesan dengan esai penutup dalam buku kecil ini, yang membuat saya membaca lebih dari sekali saking tertariknya. Esai tersebut membahas soal agensi perempuan. Lies Marcoes membandingkan pandangan Saba Mahmood dalam penelitiannya tentang agensi perempuan Islam di Mesir dan penelitian Rinaldo yang membahas soal agensi perempuan Islam di Indonesia. Ini menarik sekali karena selama ini saya hanya akrab dengan penelitian Saba Mahmood tentang agensi perempuan dan sama sekali tidak menyadari bahwa penelitian serupa dalam konteks Indonesia juga sudah dilakukan oleh Rinaldo dengan temuan yang cukup mencengangkan. Rinaldo membagi agensi perempuan menjadi 3 varian: agensi feminis inklusif, agensi kesalehan aktif, dan agensi kesalehan kritis. Nah, biarlah bagian yang sangat menarik ini teman-teman baca sendiri secara lengkap di bukunya ya…

Meskipun tidak begitu tertarik dengan isu-isu terorisme, tetapi membaca buku Lies Marcoes ini membuka perspektif baru tentang persoalan terorisme yang selama ini hanya kita pahami dari narasi arus utama saja. Selama ini, kita begitu menafikan peran perempuan dalam aksi terorisme sehingga gagap menjelaskan kenapa ada begitu banyak perempuan menjadi pelaku aksi terorisme, terutama di Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *