Home Ads

Selasa, 13 November 2018

Review Buku Tiba Sebelum Berangkat, Faisal Oddang

Judul Buku: Tiba Sebelum Berangkat
Pengarang: Faisal Oddang
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit: 2018
Jumlah Halaman: 216
Genre: Fiksi
Pe-review: Iyom Alexandria

“.... Sebab peristiwa hanya benar-benar hidup ketika ia menjadi kisah, dan kalianlah yang mewujudkannya... “
Mapata, namanya. Terlahir dengan dendam didadanya. Ayahnya meninggal tanpa kepala. Orang kampung bilang ayahnya menjadi tumbal karena pembangunan jalan dan jembatan. Mapata kecil percaya. Sama percayanya ketika ayah tirinya bernama Sukeri mengatakan bahwa ada hantu perempuan yang bersemayam dalam diri Mapata. Maka yang hanya bisa menyembuhkannya hanya Sukeri dengan menaburkan lotion ke anusnya. Mapata kecil tak boleh bilang pada siapapun dengan apa yang dilakukan ayah tirinya terhadapnya. Ini menjadi rahasia antara mereka sebab ada hantu perempuan yang bersemayam dalam diri Mapata.

Mapata, namanya. Dia ditakdirkan untuk dikecewakan. Berulangkali dia dikhianati. Seseorang yang menunggu satu persatu anggota tubunhnya ditinggalkan sebelum dijual. Kisah ini terbentang dari tahun 1950 sampai saat ini. Mapata pernah menjadi toboto bahkan pernah menjadi bissu, dan dua hal tersebut memberinya cukup banyak pengetahuan tentang ilmu kebatinan Bugis. Menurut adat Bugis ada kepercayaan pada bissu. Bissu ini seperti tokoh masyaratkat di Bugis. Seorang Bissu memecahkan banyak masalah dalam masyarakat, seorang Bissu diangkat dari laki-laki yang mendapat wahyu dari dewata. Karena menurut kepercayaan seorang bissu tidak bergendre. Bissu hadir ditengah-tengah antara laki-laki dan perempuan. Toboto seperti abdi dalemnya seorang bissu. Seorang toboto tinggal bersama bissu dan melakukan apa saja yang diperintahkan bissu. Termasuk berhubungan badan, jika itu dibutuhkan. Dari latar belakang Mapata yang sejak kecil sudah mengalami pelecehan seksual dari ayah tirinya hingga Mapata menjadi pelayan seorang bissu hingga berhubungan badan, menjadikan Mapata menikmati berhubungan dengan laki-laki. Dia sama sekali tidak memiliki hasrat pada perempuan. Latar belakang ini pun dipicu karena rasa kecewanya pada ibu kandungnya yang membawa ayah tiri masuk dalam kehidupan mereka. Dan sepeninggal ayah tirinya ibu Mapata pun meninggalkan Mapata seorang diri. 

Lebih jauhnya novel ini akan bercerita bagaimana kepercayaan-kepercayaan asli dari bangsa ini mulai dicurigai, lama-lama dipaksa untuk ditinggalkan. Salah satunya adalah kepercayaan bangsa bugis pada seorang bissu yang kemudian dianggap melanggar syari’at Isalam. Karena seorang bissu dianggap akan menumbuhkan angka penyuka sesama jenis. Anatara laki-laki dan laki-laki. Karena memang seorang bissu boleh berhubungan badan dengan laki-laki, alasan itu didasari karena bissu  bukan laki-laki dan bukan perempuan.  Dalam novel ini akan mengisahkan bagaimana ketika gurilla menyatakan diri bergabung dengan DI/TII. DI/TII masuk ke daerah Wajo dengan membawa ideologi Islam dan akan menerapkan hukum Islam. Beberapa bissu kemudian dibunuh. Kejadian itu terbentang pada tahun 1953.

Cerita yang terbentang tahun 1950 kemudian diangkat kembali di masa Mapata hidup. Mapata dicurigai oleh seorang bernama Ali Baba karena Mapata mendirikan perkumpulan. Perkumpulan  yang dimaksud untuk mengadvokasi masalah sosial adalah perkumpulan pemerhati gender-yang macam-macam latar belakang anggotanya. Nama perkumpulan mereka adalah Tidak Ada Yang Suci Di Bawah Matahari. Mereka mendampingi dan merangkul beberapa kasus yang dialami waria pekerja seks dan masalah-masalah mengenai gender lainnya. Perkumpulan-perkumpulan ini kemudian dianggap sebagai perkumpulan yang sesat. Maka anggota-anggota yang ikut bergabung wajib dimusnahkan dan darahnya halal. Karena inilah yang kemudian menyeret Mapata diculik dan disiksa tanpa ada keputusan yang jelas. Bahakan organ tubuhnyapun akan dijual.

1 komentar:

  1. Halo. Saya baru menulis resensi novel ini, jadi tertarik juga untuk membaca resensi dari orang lain. Saya kira resensi di sini sudah merangkum semua plot penceritaan. Soal bagaimana "Tiba Sebelum Berangkat" punya banyak dimensi dalam penceritaannya: konflik DI/TII dan tentara nasional, adat Sulawesi (dalam hal ini: bissu), seksualitas, represi negara serta ormas, dan lain-lain.

    Kemudian satu hal yang saya kira menarik dari novel ini adalah komedinya. Saya suka dibuat terkejut dengan kekonyolan-kekonyolan yang datang tiba-tiba lewat hal-hal trivial seperti nama dan percakapan. Meskipun sedikit dan hadir di tengah keadaan yang menyakitkan untuk dibaca, saya kira humor ini menjadikan "Tiba Sebelum Berangkat" tidak sepenuhnya "gloomy".

    BalasHapus

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *