Home Ads

Minggu, 30 Juni 2019

Resensi Buku Dawuk (Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu), Mahfud Ikhwan

Judul Buku: Dawuk – Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit dan Tahun Terbit: Marjin Kiri, 2017
Jumlah Halaman: 181
Genre: Fiksi
Peresensi: Iffah Hannah

Ekspektasi saya terhadap novel Dawuk ini sebenarnya nggak tinggi-tinggi amat, mengingat novel Mahfud Ikhwan sebelumnya, Kambing dan Hujan, sukses membuat saya bosan sejak di halaman-halaman awal. Tapi, ternyata Dawuk ini jauh melampaui ekspektasi saya. Cara berceritanya mengalir dan seru, nyaris sama bagusnya dengan novel Lelaki Harimau-nya Eka Kurniawan yang saya baca bulan lalu. Berlatar pesisir utara Jawa Timur, dekat kawasan perhutani yang kemudian melahirkan konflik sinder-mandor-blandongan inilah kisah Mat Dawuk bermula, juga berakhir. Dinarasikan di warung kopi, oleh Warto Kemplung, pembual yang menjajakan ceritanya demi rokok dan kopi gratis, kisah ini membuat penasaran si tokoh aku wartawan yang kemudian memutuskan untuk menuliskan kembali kisah Mat dan Ina ini ke dalam bentuk fiksi.

Mat Dawuk adalah seorang outcast. Ia dimusuhi orang-orang di desanya, Rumbuk Randu, bukan karena wataknya yang jahat, tapi lebih karena rupanya yang buruk rupa. Setelah kehilangan hampir seluruh keluarganya, ia pergi ke Malaysia dan menjadi pembunuh bayaran. Desanya memang banyak memasok TKI ke Malaysia, tentu bukan sebagai pembunuh tetapi sebagai buruh. Diceritakan, awal pertemuannya dengan Inayatun, kembang desa anak tokoh agama desa Rumbuk Randu, adalah di sebuah stasiun di Malaysia dimana Ina tengah menangis. Saat itulah Mat menyelamatkan Ina dari kejaran mantan suami sirri-nya dan menjadi awal hubungan percintaan antara Mat buruk rupa dan Ina yang jelita.

Setelah pernikahannya, Mat dan Ina kembali ke Rumbuk Randu, yang tentu saja hubungan mereka tidak bisa diterima oleh pak Imam, ayah Inayatun. Menempati rumah sederhana, bekas kandang di tepi hutan, Mat dan Ina hidup berdua dengan bahagia, di antara lagu-lagu India yang mereka dengarkan dan nyanyikan bersama sambil menanti kelahiran bayi mereka. Kelahiran yang tidak mungkin terjadi, sebab Inayatun dan bayi dalam kandungannya mati dibunuh. Orang-orang desa Rumbuk Randu mengatakan bahwa Mat Dawuk membunuh istri dan bayi di perutnya karena motif perselingkuhan, sebab tak jauh dari tubuh Ina, ada mayat Mandor Han yang dadanya terbelah kapak.

Meskipun Mat Dawuk mengatakan bahwa ia tidak membunuh istrinya, apalagi Mandor Han, ia tetap dikeroyok habis-habisan. Dan ketika ia tak juga mati, ia pun dijebloskan ke penjara. Bertahun kemudian, ketika masa hukumannya selesai, orang-orang Rumbuk Randu merasa Mat harus mati untuk membayar nyawa Inayatun, Mandor Han, dan Blandong Hasan—yang mengaku menjadi saksi mata pembunuhan.

Permusuhan terhadap Mat Dawuk ini ternyata sama sekali tidak sesederhana konflik percintaan atau perselingkuhan—seperti yang dituduhkan orang-orang, tetapi lebih pada sebuah konflik panjang yang merentang sejak tiga generasi; antara Mat Dulawi—kakek Mat Dawuk, dengan Sinder Harjo—kakek Mandor Han. Konflik hutan jati, orang-orang berkuasa yang korup, dan rakyat jelata yang bekerja mati-matian tapi nyaris tak pernah dapat apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *