Home Ads

Sabtu, 05 Oktober 2019

Resensi Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer

DIFABILITAS DALAM NOVEL BUMI MANUSIA




Judul Buku: Bumi Manusia
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Edisi bahasa: Indonesia
Cetakan: ke-17, 2011
Tebal: 535 halaman
Peresensi: Aida Mudjib

Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati. Jean Marais, halaman 274

*

NOVEL Bumi Manusia adalah novel luar biasa karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini telah meraih berbagai penghargaan, di antaranya Freedom to Write Award (1988), UNESCO Madanjeet Singh Prize (1996), Fukuoka Cultural Grand Prize (2000), dan berbagai penghargaan internasional lainnya.

Tokoh utama novel Minke memiliki  sahabat baik, Jean Marais. Jean adalah orang pertama tempat curahan hati Minke saat kebingungan atau kesulitan. Banyak petuah Jean mempengaruhi pemikiran Minke. Lewat karakter Jean pula Pram menelurkan  kata-kata: “Belajarlah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” Petuah  itu selalu diingat Minke. 

Jean Marais adalah seorang pelukis dari Prancis. Pernah sekolah di Sorbonne. Ia meninggalkan bangku sekolah mengikuti suara hatinya, mencurahkan kekuatan sepenuhnya pada seni lukis. Ia tinggal di Quartier Latin, Paris, menjajakan lukisan-lukisannya di pinggir jalan. Karya-karyanya selalu laku, tapi tak pernah menarik perhatian masyarakat dan dunia kritik Paris. Selain menjajakan lukisan, ia juga mengukir. 

Lima tahun telah berlalu. Jean Marais bosan dengan lingkungannya, Eropa. Ia berpetualang ke  Maroko, Libya, Aljazair, dan Mesir, namun tak juga menemukan sesuatu yang dicarinya dan tetap tak bisa menciptakan lukisan sebagaimana ia impikan. Sampai di Hindia uangnya habis. Jalan satu-satunya adalah masuk Kompeni. Setelah masuk dan mendapat latihan beberapa bulan, Jean dikirim ke Aceh sebagai Spandri (serdadu kelas satu). Komandan regunya, Kopral Bastian Telinga, seorang Indo-Eropa. Sekiranya Marais bukan orang Eropa totok, ia hanya akan menjadi serdadu kelas dua. Mulailah ia hidup di antara serdadu-serdadu Eropa totok seperti dirinya sendiri, yang juga tak tahu Belanda: orang Swiss, Jerman, Swedia, Belgia, Rusia, Hongaria, Romania, Portugis, Spanyol, Italia—hampir semua bangsa Eropa. 

Pengalaman perang di Aceh mengubah pandangan Jean Marais tentang pribumi. Ternyata kemampuan mereka tinggi, hanya peralatannya rendah; kemampuan berorganisasinya juga tinggi. Sebaliknya, ia juga mengakui kehebatan Belanda dalam memilih tenaga perang. Jean Marais mulai mencintai dan mengagumi bangsa pribumi yang gagah perwira, berwatak dan berpendirian kuat. Hingga ia mendapatkan seorang wanita yang dulu adalah musuhnya menjadi wanita yang dicintainya,  dari wanita tersebut Jean memiliki seorang anak perempuan yang dinamai May.

Dari perang Aceh itu pula Marais kehilangan satu kakinya. Ia hidup bersama May di Surabaya bergantung pada uang pensiun tentara dan keahliannya melukis dan mengukir. Namun meski ia hidup sebagai warga Eropa yang pada masa itu termasuk warga kelas satu, Monsieur Marais tetap mengalami diskriminasi. Ini tercermin dari kalimat yang dipilih Pram dalam novel. 

Dunia sekelilingku ramai. Meriam pun berdentuman. Di hati aku tetap  nelangsa. Jadi pergilah aku seperti biasa ke tetangga sebelah, Jean Marais, orang Prancis berkaki satu itu. (hal. 4)

Betapa mengibakan nasib gadis kecil ini, juga ibunya, lebih-lebih sahabatku Jean Marais sendiri –di negeri asing tanpa hari depan, kehilangan sebelah kaki pula. Ia sering bercerita sangat mencintai istrinya. Dan anak ini adalah anak tunggal – kini tanpa ibu untuk selama-lamanya, hanya punya seorang ayah berkaki satu. (hal. 7)

Minke mencari tambahan uang saku dengan mengumpulkan pesanan ukiran dan lukisan Jean Marais. Sebagaimana Minke yang bergantung pada petuah dan pendapat sahabatnya, Marais juga sering bergantung pada Minke untuk membantu mengasuh May saat pulang-pergi sekolah atau saat May ingin jalan-jalan. Stigma sosial yang kuat bahwa menjadi orang cacat itu menimbulkan omongan dan pandangan negatif membuat Marais nyaris tidak ingin keluar rumah. Minke berusaha membuat Marais lebih percaya diri untuk bersosialisasi.

“Baiklah. Kau mau mengajak jalan-jalan May sore ini, kan? Kau tak pernah membawanya?” tuduhku menyesali. “Dia ingin berjalan-jalan denganmu.” 

“Belum bisa, minke. Kasihan dia. Orang akan menonton kami berdua. Pada suatu kali dia akan dengar mereka bilang: Lihat Belanda buntung pincang dengan anaknya itu! Jangan, Minke. Jiwa semuda itu jangan dilukai dengan penderitaan tak perlu, sekalipun cacat ayahnya sendiri. Dia hendaknya tetap mencintai aku dan memandang aku sebagai ayahnya yang mencintainya, tanpa melalui suara  dan pandang orang lain.”

“Kau tak pernah setuju dengan perasaan kasihan, Jean.”  aku menegur.

“Kau benar, Minke. Pernah  ku ceritai kau, kasihan hanya perasaan orang berkemauan baik yang tidak mampu berbuat. Kasihan hanya satu kemewahan, atau satu kelemahan. Yang terpuji memang dia yang mampu melakukan kemauanbaiknya. Aku tak punya kemampuan, Minke.”

Novel Bumi Manusia memang sarat dengan nilai-nilai sosial. Di sini tidak hanya menceritakan  pertentangan kelas pribumi lawan Eropa, priyayi lawan rakyat jelata, relasi cinta dan kuasa, tapi juga nilai-nilai persamaan derajat. Pembaca Bumi Manusia diajak kembali kepada pandangan masyarakat Jawa zaman dulu sebelum era kolonialisme. Dulu, kaum difabel sebelum masa kolonial sangat dihormati, dimanusiakan. Mereka menjadi dihargai karena dalam masyarakat kita, terutama masyarakat Jawa, harmonisasi itu penting. Salah satu caranya dengan penghormatan kepada semua kaum, termasuk difabel. masyarakat jawa memiliki kisah punokawan yang semuanya bertubuh aneh namun bijak, pintar, pemberani dan baik hati. Masyarakat Indonesia memiliki gambaran ideal tentang bagaimana memperlakukan difabel di sekitarnya. Namun gambaran ini menjadi berubah ketika masa kolonial terjadi di Indonesia. Masyarakat Eropa yang sangat mementingkan aspek fisik membuat kaum difabel terpinggirkan dan mengalami stigma hingga saat ini.

Agaknya Pram ingin memberikan ajaran tentang cara menghargai kaum difabel dengan menunjukkan  prestasi dan kemampuannya, bukan kondisi fisiknya.

“Tahukah para hadirin siapa yang melukis potret hebat di atas itu? Seorang pelukis berbakat! Bukan pelukis sembarang pelukis. Kan demikian, Tuan Jean Marais? Ya, para hadirin, pelukisnya seorang Prancis, negeri yang punya tradisi besar di bidang seni. Tuan Marais, silakan berdiri…” Nampak olehku Tuan Telinga menolong Jean Marais berdiri, dan hadirin bersorak gegap-gempita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *