Home Ads

Kamis, 10 Oktober 2019

Cerpen Syaikhona dalam Diary Jingga (bagian 1)

Syaikhona dalam Diary Jingga

oleh Nabilah Munsyarihah


Di kota asing beriklim gurun ini, Rahma tengah bersiap memulai rutinitas yang sama sekali berbeda. Ruang tengah flat barunya masih berserakan barang-barang. Ada tiga koper baju yang siap ditata ulang di lemari. Baru saja tadi siang tiba empat kardus kargo berisi buku dan beberapa barang juga menunggu disentuh.  

“Dek, yang ini masuk prioritas ditata hari ini atau next?” tanya Mas Maula, suaminya.

“Itu besok aja ya, yang penting baju masuk lemari dulu sambil tata sekalian yang mau dibawa ke Makkah-Madinah,” jawab Rahma letih.

Rahma membuka satu per satu kardus untuk mengecek keutuhan barang-barangnya. Ketika membuka kardus kedua yang berisi koleksi buku kesayangannya, ia menemukan satu buku agenda yang dibalut cover dengan warna jingga yang mencolok. Buku ini sebenarnya tak ada dalam rencana untuk dibawa. Tapi saat Rahma beres-beres, buku ini seperti memanggil-manggil minta disentuh. Lalu ia letakkan begitu saja di kardus sampai akhirnya kini kembali ke genggamannya.

“Itu buku apa?” tanya Mas Maula.

“Oh ini? Ini buku diaryku jaman alay dulu. Pas masih mondok di kota J.” Rahma lalu membuka satu per satu halaman yang kertasnya sudah kusam itu. Di samping curhatan, ia menempelkan beberapa foto momen penting. 

“Ini foto saat pelantikan pengurus pondok. Kalau yang ini pelantikan pengurus OSIS madrasah. Kalau ini pelantikan panitia al-Haflah al-Kubro, semacam akhirussanah seluruh madrasah se-yayasan.”

“Jadi dari dulu kamu memang udah ada bakat aktivis ya sebelum di kampus,” kata Mas Maula.
Rahma hanya senyum tersipu. “Kalau tidak mondok di kota J, mungkin aku tidak jadi seperti aku yang sekarang.  Itu fase penting dalam hidupku. Di sana prinsip dan nilai Islam guruku tanam dalam-dalam di hatiku, Mas. Bukan, bukan hanya ilmu. Sudah jadi semacam karakter yang sulit dikikis.”

“Termasuk keras kepalamu itu ya?” goda mas Maula

“Mas..” Rahma melemparkan tatapan maut tanda protes.

Mas Maula tergelak, ia sebetulnya paham betul karakter istrinya. Haus pengetahuan, mencintai ilmu, dan berkemauan keras. Justru itu lah yang membuatnya jatuh hati. Mereka sama-sama menyimpan cita-cita tinggi. 

Rahma mematung saat membuka lembaran yang bertanggal 27-05-2006. Catatan itu adalah momen yang tak pernah ia lupakan.

Melihat ekspresi istrinya, ia jadi penasaran. “Boleh kubaca itu?” tanya Mas Maula. Rahma mengangguk. Diary jingga pun beralih ke tangan suaminya.  

***

27-05-2006   

Tak kusangka. Aku bisa bertemu dengan beliau pagi ini. Dulu bapak sering menceritakan tentang gurunya. guru yang sangat bapak hormati. Dalam cerita-ceritanya, bapak menyebut beliau simbah. 
Sepekan lalu, pengurus yayasan secara diam-diam memberitahuku bahwa aku memenangkan lomba siswa teladan tingkat yayasan. Lomba itu sudah digelar sebulan lalu dan rencananya hasilnya akan diumumkan saat puncak acara al-Haflah al-Kubro mendatang. Aku diberi tahu lebih dulu karena aku diutus untuk menyiapkan pidato.

Tentu aku sudah tahu jika simbah akan rawuh. Sebagai sekretaris panitia putri, aku tahu informasi bahwa beliau kerso hadir untuk memberikan mauidzoh hasanah. Tapi tak kusangka aku harus berpidato bahkan di depan beliau.

Tadi pagi dari atas podium, aku menatap wajah-wajah teduh yang duduk di deretan kursi paling depan. Wajah beliau yang sudah tampak sepuh persis seperti yang pernah bapak gambarkan. Bapak bilang, beliau adalah kiai yang ilmunya tinggi, tapi hatinya selalu membumi. Tak ada yang tak damai hatinya jika sowan Simbah. 

“Ladies and gentlemen...” begitu aku memulai inti pidato berbahasa Inggris. Aku membawakan topik tentang Pesantren dan kesiapannya menatap era globalisasi, sebuah topik yang nge-trend belakangan ini. Agar terkesan modern, pengurus yayasan memilih pidato dibawakan dengan bahasa Inggris. Tepuk tangan hadirin mengembalikan kesadaranku setelah sekian menit rasanya ‘ngawang’. 

Bagaimana tidak, sebagai santri ingusan, aku tentu merasa sungkan berpidato di depan para kiai dan bunyai. Tapi aku juga memahami keinginan pengurus yayasan untuk unjuk gigi.

Aku pun menerima piala sebagai siswa teladan. Tes yang kulalui lumayan, ada tes tulis, tes baca kitab, dan tes wawancara terbuka yang mendatangkan juri dari luar yayasan ini. Pesertanya ada 24 siswa dari 7 madrasah aliyah dan 5 madrasah tsanawiyah. Pesantren yang sudah berusia hampir dua abad ini, memang menanungi banyak sekali lembaga pendidikan dan asrama pondok. 

Karena jarak yang lebih dekat dengan rumah, Ibu memilih untuk memasukkan aku ke pesantren ini. Meski jika dulu aku boleh memilih, aku ingin mengaji pada simbah seperti bapak. Bagaimanapun, sudah empat tahun aku mondok di sini dan aku merasa cocok dengan iklim  di sini. Jurumiyah sampai alfiyah aku pelajari, di samping itu aku juga belajar matematika dan sains. Aku juga belajar berorganisasi. Terlebih, pesantren salaf-modern ini memberikan kesempatan yang sama pada santri putra dan putri. Kalau tidak, bagaimana bisa santri putri sepertiku diberi kesempatan berpidato di ajang sebesar tadi.

Ah, yang paling membuncahkan hatiku, bukan karena aku naik panggung. Tapi karena simbah sempat menyinggungku dalam ceramahnya.  “Rasanya jarang ada pesantren yang menampilkan calon bunyai muda berpidato di acara sebesar ini. Apalagi mahir cas cis cus berbahasa Inggris. Santri-santri di masa depan harus bisa mengambil peran yang lebih luas agar bisa melakukan perjuangan yang berarti untuk agama dan negara. Pinter bahasa inggris ngunu, takdungakno dadi diplomat yo, nduk!” kalimat Simbah disambut tepuk tangan meriah dan seruan amiiin di mana-mana.

Air mata tak kuasa kubendung. Andai bapak di sini, bapak mungkin senang sekali. Bapak selalu berpesan agar aku ta’dzim pada para guru. Andai bisa kukecup tangan simbah, akan kulakukan untuk mengungkapkan rasa hormatku pada beliau. Tapi itu mustahil. Aku cuma bisa menangis teringat bapak. Ya Allah, sayangilah bapakku, muliakan lah beliau di sisi-Mu...

***

“Simbah yang kamu maksud ini Syaikhona ya?” kata Mas Maula, “pasti jadi momen tak terlupakan.”
“Banget, Mas. Dapat barokah doa beliau, mungkin itu yang membuat kita ada di sini sekarang,” Rahma lalu menghadap kaca jendela. Dari lantai lima tampak suasana kota yang sama sekali berbeda dengan di Indonesia. Lalu lintas kota Riyadh sangat lengang dibandingkan Jakarta bahkan Surabaya. 
Lulus dari madrasah aliyah di pesantren, Rahma memilih kuliah di Fakultas Adab jurusan Sastra Arab. 

Sejak di pesantren, Rahma memang menggemari nahwu, shorof, i’lal, balaghoh, manthiq. Ia menikmati dan belajar keras tiap kali ujian datang. Kehidupan kampus memberikan nyaris segala keinginannya, kebutuhan mereguk samudera ilmu dan pentas aktivisme. Berasal dari keluarga sederhana, Rahma dikaruniai rezeki cukup untuk meneruskan kuliah lewat peluang beasiswa. Meski ia sempat menolak, Ibu tetap mengirimi Rahma uang yang ia pergunakan untuk bayar syahriah pondok mahasiswa.

Di kampus, Rahma masih secemerlang dulu. Mungkin malah lebih. Menjadi mahasiswi pintar sekaligus aktivis membuatnya mudah dikenal oleh para dosen. Salah satu yang ia kenal baik adalah Pak Romli. Saat itu, Pak Romli adalah Dekan Fakultas sekaligus pembimbing organisasi di mana Rahma menempa diri. Rahma sering diutus Pak Romli mengasisteni penelitian, dalam beberapa kesempatan informal ia juga dikenalkan dengan para senior organisasi kampus di masanya yang sekarang sudah menjadi  pejabat di berbagai instansi. Rahma mendapat banyak kesempatan untuk memperluas jaringan.

Lulus dari universitas dengan mendapat pin emas yang berarti lulusan terbaik, ia kembali berpidato di ajang bergengsi yang sebagian besar adalah sivitas akademika. Tak membuang waktu, Rahma langsung mengejar beasiswa magister di universitas yang sama sekaligus merintis karir sebagai dosen muda. Saat itu lah ia bertemu dengan Maula, teman sekelasnya, lulusan Ma’had Aly pesantren salaf yang disegani.

“Tapi jangan dikira aku tak punya kegagalan, Mas. Aku pernah merasa duniaku nyaris runtuh dan semua usahaku untuk belajar sia-sia.” Rahma kembali duduk di sisi suaminya. Ia membuka catatan selanjutnya. “Aku pernah di-shod sama guruku, Pak Maliki.”

***

22-06-2006

Bodoh bodoh bodoh!  

Kenapa aku bisa lupa kalau itu masih jam pelajaran Pak Maliki? 

Kenapa tadi aku mau diajak Isma, ketua panitia haflah, minta tanda tangan pas jam sekolah? 

Tadi pagi kami sempat izin keluar sekolah untuk meminta tanda tangan pengurus yayasan untuk laporan pertanggungjawaban panitia haflah. Aku kembali saat bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Aku langsung saja menuju kelas tanpa pikiran gimana-gimana.

Ketika aku masuk, sudah ada Pak Maliki di kelas. Aku minta izin masuk tanpa banyak pikir. Teman-teman menatapku dengan wajah yang tidak enak. 

Raut wajah Pak Maliki juga seperti sedang marah. Beliau adalah guru alfiyah yang terkenal tegas dan ‘killer’, teman-teman menyebutnya begitu. 

“Masa meneruskan bait hapalan semester kemarin pada ga bisa! Ngobos nang ndi iku mukhafadzohe bar liburan semester? Coba Rahma, bacakan bait tentang wazan-wazan jama’ taktsir!” 

Duh, itu salah satu bab paling susah karena lafadznya mirip-mirip dan cenderung mbulet. Karena takut, jawabanku akhirnya juga ikut mbulet. Lalu pecah lah amarah Pak Maliki. aku kemudian sadar kalau sudah melakukan kebodohan besar!

“Gitu katanya siswa teladan paling pinter sak-yayasan! Apa kalau sudah menang lomba terus sakkarepe dewe. Kamu tahu tidak saya di sini sudah dua jam pelajaran, sampai pergantian jam kamu baru masuk. Dari mana saja?” 

Ya Allah, rasanya aku seperti disambar petir! Pantas saja wajah teman-teman makin kecut saat aku masuk kelas. Aku tidak sadar kalau yang kulewatkan pelajaran Pak Maliki dan beliau belum keluar kelas meski bel sudah berbunyi karena duko. 

Yang paling parah, aku dishod. “Meskipun pinter, tapi kalau ga mempeng bolos ae Osas-Osis, ga menghormati guru, ga bakal barokah ilmune.” Aku sangat ingin meyakini kata-kata beliau tadi cuma mimpi. Sayangnya bukan.

Tangisku langsung pecah. Isma yang tahu aku dimarahi, langsung menghampiri kelasku, memelukku, dan minta maaf karena tadi mengajakku keluar pelajaran. Ia menuliskan doa mahabbah ijazah dari kakeknya, seorang kiai terpandang di kotanya. Tapi aku ragu apa aku akan menggunakannya.

bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *