Home Ads

Senin, 27 Januari 2020

Resensi Buku Coloured Lights - Lampu Warna Warni, Leila Aboulela

Judul: Coloured Lights - Lampu Warna Warni
Penulis: Leila Aboulela
Penerbit dan tahun terbit: Gramedia, 2012
Jumlah Halaman: 222 hal
Genre: Fiksi
Peresensi: Iffah Hannah

"Dia tahu mengapa dia ingin istrinya datang bersamanya, bukan untuk 'melihat' melainkan supaya Afrika bisa menggugah perasaannya, membuatnya terpukau, menyentuh hatinya dengan cara yang tak dapat ditolaknya." (Oleh-oleh, hal. 41)

Buku ini berisi 13 cerita pendek yang sebagian besar mengisahkan masalah sosial, ras, dan gender orang-orang Afrika yang menjadi imigran di Inggris. Cerpen pertamanya, 'Lampu Warna Warni', menceritakan tentang kecelakaan tragis yang menimpa seorang mempelai laki-laki menjelang pernikahannya karena kabel listrik terkelupas di lampu warna warni dekorasi pesta pernikahannya. Hari yang harusnya bahagia menjadi hari penuh duka dan Leila Aboulela menarasikannya dengan sangat lembut sekaligus menyentuh.

Beberapa cerpen lain mengisahkan tentang perbedaan budaya antara Afrika dan Inggris serta bagaimana para imigran Afrika di Inggris memandang tanah airnya dengan berjarak, melihat betapa terbelakang negaranya dibanding Inggris, namun begitu rindu dan cinta mereka pada tanah airnya.

"Mungkin inilah esensi dari negeriku, yang paling kurindukan. Mukjizat-mukjizat yang terjadi sehari-hari, keseimbangan antara apa yang normal dan yang kacau. Kekaguman dan rasa syukur untuk hal-hal sederhana. Tempat orang-orang meyakini bahwa hanya Allah yang abadi." (Burung Unta, hal. 67)

Beberapa cerita pendek juga sangat kental menceritakan persoalan gender. Perempuan Afrika yang miskin dengan anak banyak, perempuan yang dipoligami, yang ditinggal tunangannya karena punya kekasih baru di luar negeri, sekaligus perempuan-perempuan Afrika yang kuat, yang cerdas, yang berpendidikan, dan memiliki karier bagus. Dan bagaimana masyarakat Afrika muslim memandang perempuan; sebagai seorang istri, sebagai anak, adik, atau sebagai ibu. Juga bagaimana kehormatan lebih penting dibandingkan nyawa seorang perempuan sehingga perempuan yang dianggap menghancurkan kehormatan keluarga berhak dicerabut nyawanya.

"Paman yang murka ... mendatangi keponakan perempuannya dengan senjata terkokang. Hanya darah yang dapat membersihkan aib keluarga. ... para ibu dicerai gara-gara ini. Saudara-saudara perempuan tidak menikah sampai tua. Nenek-nenek meninggal sebelum waktunya, sakit karena sedih. Kehormatan seorang gadis itu seperti batang korek api, sekali patah tidak akan bisa disambung lagi." (Pulanglah Sendiri, hal. 106)

Dua cerpen terakhir mengisahkan cerita sains-fiksi tentang dunia setelah Perang Besar pada kisaran tahun 2100-an dan bagaimana peradaban berangsur berubah pada sesuatu yang lebih spiritual. Tetapi yang lebih menarik bagi saya adalah cerpen kesebelas, cerpen terakhir sebelum dua cerpen sains-fiksi yang menjadi penutup kumpulan cerpen ini, berjudul 'Cerita Lama, Cerita Baru' yang mengisahkan seorang mualaf Inggris yang jatuh cinta dengan perempuan Afrika dan datang ke Afrika untuk meminang kekasihnya tersebut. Leila Aboulela seperti menyelami Afrika dari kacamata orang asing yang begitu berjarak, begitu jauh, begitu tak mengenal Afrika. Dan ketika sampai di narasi ini, hati saya perih, teringat tanah air sendiri yang betapapun keadaannya, kadang-kadang dengan sedih saya cintai:

"Lelaki itu teringat, dari sebuah buku yang dibacanya dan dari kalangan Islam Inggris yang dikenalnya, bahwa di negara Muslim dia akan menemukan keharmonisan dan kerukunan. Sebaliknya dia menemukan kehidupan melankolis, tempat yang sulit dimengerti, kehidupan yang dilucuti hingga ke tulang." (Cerita Lama, Cerita Baru, hal. 193)

Meskipun kumpulan cerita pendek ini tak begitu tebal, saya menghabiskan puluhan hari di awal 2020 untuk menamatkannya. Betapapun Leila Aboulela menarasikannya dengan begitu indah, saya tak bisa tidak merasa patah hati ketika membaca bagian-bagiannya. Saya merasa menjadi seorang perempuan dalam cerpen 'Tamu', perempuan miskin beranak banyak yang berkunjung ke rumah dokter anaknya membawa oleh-oleh gula seember -barang yang begitu berharga di Afrika- sekaligus merasa menjadi si dokter perempuan angkuh yang menerima kedatangan tamu miskin itu dengan enggan penuh prasangka; yang di kepalanya sudah bersiap untuk membuang oleh-oleh apapun dalam ember kotor yang dibawa sang tamu, namun terkesiap ketika menemukan bahwa oleh-oleh itu adalah barang paling berharga yang memang sedang saya nanti-nantikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *