Home Ads

Jumat, 01 November 2019

Resensi Buku Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer

DENGARLAH PETUNJUK ARAH YANG TEPAT


Judul Buku: Jejak Langkah
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Jumlah halaman: 721
Cetakan: IX, februari  2012
Peresensi: Aida Mudjib

"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya." - Ang San Mei di halaman 262 -

Suami adalah kepala rumah tangga namun istri adalah lehernya yang menyangga dan menunjukkan kemana arah yang tepat. Begitu kira-kira idiom tentang pentingnya mendengarkan pendapat istri. Seperti Minke yang berhasil menemukan arah perjuangan yang benar setelah mengikuti nasihat dan gerutuan istri keduanya. hehehe 

Jejak  langkah menceritakan kehidupan  Minke di Batavia. Dia pergi ke kota tersebut  untuk sekolah dokter. Tapi, takdir berkata lain. Ia gagal menjadi dokter dan malah terjun dalam dunia jurnalistik dan organisasi. Minke tidak melakukannya karena tiba-tiba “kepikiran” ide melakukan itu. Minke belajar banyak dari istrinya dan seorang pensiunan dokter jawa yang menyuruh kaum pribumi untuk membentuk organisasi.

Ang San Mei, istri Minke adalah seorang organisator ulung untuk kalangan Tionghoa nasionalis yang menentang kekaisaran China. Mei  bekerja di Hindia Belanda untuk mempersatukan kaum Tionghoa di Hindia Belanda agar mau menggulingkan kekuasaan Tiongkok lama yang bekerja sama dengan imperialis Inggris. istri Minke sering merajuk ke Minke bahwa ia tak mau punya suami “sekedar dokter.” Ia ingin suaminya menjadi seperti dirinya. Ia ingin suaminya mengabdikan diri untuk pribumi Inlander, sebagaimana Ang mengabdi pada bangsa Tionghoanya.

Tatkala Mei akhirnya meninggal, Minke justru baru mulai bergerak ke arah yang diinginkan istrinya. Pada mulanya ia tertatih-tatih karena tidak ada organisasi pribumi satupun. Di Hinda Belanda hanya terdapat organisasi Indo, Tionghoa, dan Arab. Pribumi adalah kelas sosial paling melarat dan paling bodoh serta dihinakan.

Namun, Minke tetap belajar. Ia mula-mula menghubungi bupati-bupati dan berdirilah Syarikat Priyayi. Menurutnya, kaum priyayi adalah kaum paling maju di antara pribumi sehingga bisa diandalkan untuk memajukan kehidupan bangsa sendiri secara umum. Organisasi ini melahirkan mingguan pribumi pertama, Medan Priyayi. Tapi ternyata minke salah. Para priyayi sudah hidup tenang dalam upah yang diberikan pemerintah kolonial tiap bulan. Mereka tak mungkin berubah dan sulit peduli. Namun, Syarikat Priyayi akhirnya mati.

Sementara itu, kelompok priyayi lain ada yang mulai membuat organisasi baru. Organisasi tersebut dinamai Boedi Oetomo. Organisasi ini mengedepankan semangat 1 bangsa, yakni jawa, padahal Hindia Belanda terdiri atas banyak bangsa. Ia pun banyak diisi oleh kalangan Priyayi yang menurutnya statis dan tak bisa berkembang. Minke tak sepenuhnya benar, sebab BO pada hari kemudian mampu mendirikan banyak sekolah untuk kaum pribumi.

Minke sendiri mulai mendirikan organisasi baru lagi. Ia mendirikan Syarikat Dagang Islamiyah. Syarikat ini dibangun karena melihat ekonomi Hindia Belanda yang dikuasai syarikat dagang dari kelompok non pribumi dan secara sistematis memang didesain agar pribumi kalah. Syarikat ini berkembang besar dan makin pesat karena dukungan koran Medan. Nyai Ontosoroh dan sahabatnya yang lain mulai memuji langkah Minke. Namun kemenangannya tak berlangsung begitu lama. Dengan tuduhan telah menunggak pada bank, Minke akhirnya dibuang ke wilayah timur. Aset-aset miliknya juga disita, termasuk perusahaan koran miliknya.

Novel ketiga tertalogi pulau buru ini beralur lambat dengan penjelasan yang panjang dan lebar. Perlu membaca 100 halaman awal untuk bisa mengerti seluruh alur konfliknya apalagi bahasanya masih gaya bahasa lama. Nuansa sejarah perjuangan di novel ini begitu terasa. Berbeda dengan dua novel sebelumnya. Di sini, kita bisa melihat bagaimana evolusi seorang Minke. Minke telah tumbuh dari remaja idealis keras kepala yang tergila-gila pada wanita menjadi menjadi manusia kritis dan organisator ulung yang melakukan kerja nyata memajukan kehidupan pribumi.

Beruntung, karena ia mau mendengarkan istrinya.

Jombang, 1 November 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *