Home Ads

Rabu, 15 Juli 2020

Resensi Buku Kebohongan di Dunia Maya, Budi Gunawan, Barito Mulyo Ratmono

Judul buku: Kebohongan di Dunia Maya
Penulis: Budi Gunawan, Barito Mulyo Ratmono
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan ke-2: April 2020
Genre: Nonfiksi
Penulis resensi: Nana Ernawati

Tahukah Anda apa bedanya hoaxes (berita bohong), fake news (berita palsu), dan hate speech (ujaran kebencian)?

Peredaran hoax cyber merupakan fenomena yang krusial dalam konteks Indonesia. Mengapa? Setengah dari penduduk Indonesia (2016) telah terhubung dengan internet. Menurut Survei Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia APJII, jumlah pengguna aktif internet di Indonesia mencapai 132,7 juta. Jumlah yang begitu besar inilah yang menyebabkan “kekuasaan” tumbuh marak di dunia maya, seperti konsepsi Foucault, William Gibson (1984) yang menggarisbawahi bahwa ruang siber memungkinkan beroperasinya kekuasaan. Siapa saja bisa memanipulasi informasi di ruang siber, baik perorangan ―seperti hacker yang mengandalkan keahlian individualnya― maupun institusi besar yang mengandalkan apparatus korporat yang dimilikinya.

Menurut Allcot & Gentzkow (2017) fake news atau berita palsu diartikan sebagai artikel yang terbukti keliru dan disengaja serta dapat menyesatkan pembaca. Fake news tidak berbasis fakta, namun ditampilkan layaknya faktual. Sementara hoax diartikan sebagai laporan yang dibelokkan atau menyesatkan, namun tidak sepenuhnya salah. Fake news dan hoax sama-sama berpotensi menyesatkan.

Dalam buku Kebohongan di Dunia Maya diterangkan secara lengkap apa yang dimaksud dengan hoax dan fake news. Mulai dari pengertian menurut majalah Tempo hingga pendapat para ahli, seperti Allcot & Gentzkow, kemudian Alex Boese, Alex Davies dan beberapa nama lagi.

Hoax dan fake news akhirnya menjadi sedemikian masif sirkulasinya, dimulai sejak hadirnya teknologi media baru yang berbasis internet. Kehadiran teknologi media tersebut membawa perubahan besar dalam cara hidup dan cara orang berelasi satu sama lain. Pola kehidupan manusia berubah dengan teknologi internet. Salah satu perubahan yang terjadi akibat teknologi internet adalah munculnya ruang yang disebut oleh William Gibson (1984) sebagai “ruang siber” atau “dunia maya”; suatu ruang baru yang bersifat imajiner yang dibangun dalam lingkungan berbasis komputer. Kegiatan di dunia maya, salah satunya adalah pertukaran informasi. Dalam ruang siber itulah setiap individu bisa mempraktikkan “kekuasaannya” untuk memperoleh posisi sosial. Setiap individu bisa memanipulasi informasi di ruang siber, baik secara perorangan maupun oleh institusi besar. Di sinilah peran hoax dan fake news menjadi begitu penting. Dalam perkembangannya, hoax dan fake news dipergunakan di seluruh dunia dengan mempergunakan platform baru semacam Twitter, Instagram, Youtube, dan sebagainya.

Di Indonesia sejak 2015, penyebaran hoax dan fake news ternyata sangat berhubungan erat dengan situasi politik. Dapat dikatakan, ada tiga hal penting yang saling berkaitan yang mampu menghitam-putihkan situasi, yaitu hoax, suhu politik, dan media sosial. Bahkan secara nyata banyak situs-situs yang keberadaannya memang untuk menyediakan hoax maupun fake news (berita bohong) di media sosial. Mulai dari pilkada, pileg hingga pilpres keberadaan situs-situs penyedia hoax dan fake news menjadi begitu nyata, sehingga terjadi polarisasi situs web antara yang pro dan kontra terhadap para calonnya. Setiap situs memiliki buzzer yang memang dibayar secara profesional untuk menciptakan berita-berita palsu maupun bohong, sekaligus ujaran-ujaran kebencian pada para calon, sesuai dengan keinginan pemesannya. Sebagai tambahan pengetahuan, para buzzer ini mendapat bayaran yang besar karena mereka bekerja hampir 24 jam sehari, dan harus terus-menerus meng-update berita-berita lawan politiknya.

Tingginya penggunaan internet di Indonesia berbanding lurus dengan terbukanya akses informasi dan kesempatan bagi publik untuk terlibat aktif dalam penyelenggaraan negara. Platform media baru tersebut memunculkan budaya baru yang disebut “participatory culture”. Dalam hal ini masyarakat tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi bisa menjadi produsen dari produk medianya sendiri, sehingga internet menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi membuka ruang demokrasi dan memperluas wawasan warga negara dalam proses demokrasi; pada saat yang sama menjadi anacaman demokrasi karena kontrol yang sangat ketat dari negara atau korporasi.

Mengutip Nick Couldry (2010) “bersuara” adalah elemen mendasar kemanusiaan. Membungkam suara seseorang adalah salah satu pengingkaran kemanusiaan. Namun sayang dalam tatanan neoliberal ada suara-suara termajinalkan akibat rasionalisasi ekonomi maupun desain politik tertentu. Nah… di situlah peran internet atau dunia siber menjadi begitu penting. Pada akhirnya individu-individu itu mencari berita seputar masalah yang mereka ingin suarakan melalui internet serta melalui diskusi-diskusi kecil di grup-grup media sosial, seperti WA, Line, Instagram dan lain-lain. Mereka yang memahami psikologis semacam ini kemudian mengambil keuntungan dengan menguasai pikiran para pengguna media sosial dan menggiring ke arah yang mereka mau (terutama dalam masalah politik), melalui gelontoran berita-berita bohong dan rekayasa, yang sayangnya ditelan begitu saja juga oleh masyarakat yang merasa termajinalkan itu. 

Para buzzer jumlahnya semakin banyak. Mereka juga kian rakus mengeruk keuntungan. Berita-berita semakin dicari dan dicari-cari. Setiap orang dapat menemukan kebenaran personalnya yang terefleksikan dalam pagina-pagina situs web yang gemerlap...! Kebenaran telah digantikan oleh opini-opini demonstratif yang bersifat emosional, tanpa bukti, dan seringkali mendasarkan argumentasi pada ketakutan maupun kekhawatiran.

Orang-orang yang dengan sukarela terlibat dalam viralisasi hoax melalui media sosial adalah para konsumen hoax yang mendudukkan diri sebagai co-conspirator. Mereka inilah kunci keberhasilan dari penyebaran masif hoax, fake news, dan hate speech. Hal ini sangat memudahkan pekerjaan para oknum dalam situs penyedia hoax, berita palsu, dan ujaran kebencian. Mereka bekerja dengan cara mengamati berita-berita yang berpotensi menimbulkan kontroversi. Berita-berita itu mereka himpun dan modifikasi sehingga provokatif, dengan tujuan memunculkan perdebatan publik seputar isu SARA (suku, ras, agama, dan antargolongan).

Masyarakat tidak menyadari bahwa tujuan para aktor pemraktik hoax cyber adalah keuntungan ekonomi; sedangkan tujuan para “otak pembuat skenario” adalah pencapaian kekuasaan. Jadi jelas bahwa hoax, fake news, dan hate speech adalah komoditas politik. Karena itulah praktik penyebaran hoax dan kawan-kawannya ini harus dihadapi dan direduksi sampai serendah mungkin. Ada tiga komponen yang berperan mengatasi hal tersebut, yaitu negara, pasar, dan masyarakat. Pendekatan rule altering politics perlu diterapkan dengan menciptakan produk hukum baru yang mengatur semua itu.  Juga dalam konteks pasar dan masyarakat harus dibuat kesepakatan dan aturan baru.

Buku ini menjadi begitu penting untuk dibaca bagi mereka yang sehari-harinya melibatkan diri dengan media sosial agar tidak mudah terperangkap. 

Menjadi bermanfaat itu baik, berbuat jujur itu mudah; kebohongan dan keburukanlah yang menipu.

Selamat membaca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *