Home Ads

Senin, 06 Juli 2020

Resensi Buku Menjerat Gus Dur, Virdika Rizky Utama


Judul: Menjerat Gus Dur
Tahun: 2019
Penulis: Virdika Rizky Utama
Penerbit: PT. NUMEDIA Digital Indonesia
Halaman: xxi+376 halaman
Genre: Nonfiksi
Peresensi: Hikmah Imroatul Afifah

Pada penghujung tahun 2019, sempat ramai karena terbitnya buku berjudul "Menjerat Gus Dur". Buku yang ditulis oleh Virdika ini telah memasuki cetakan ketiga per Mei 2020. Secara garis besar, buku ini menjelaskan sebab-musabab pemakzulan Gus Dur sebagai Presiden RI kala itu. 

Buku ini terdiri dari 7 bab utama. Dimulai dari awal orde baru yang dijelaskan pada bab pertama, Virdika berhasil menarasikannya dengan runtut. Pilihan penulis untuk mengawali buku ini dengan sejarah orde baru, disusul era Habibie, kemudian berturut-turut memaparkan proses terpilihnya Gus Dur menjadi presiden dan segala polemiknya, hingga "jatuhnya" Gus Dur, menurut saya sudah tepat. Merunutkan keping-keping sejarah secara runtut akan sangat membantu proses berpikir analitis para pembaca.

Sumber sejarah yang digunakan dalam buku ini pun tak main-main. Beberapa pelaku sejarah berhasil diwawancarai oleh penulis. Selain itu, dokumen-dokumen penting terkait proses pemakzulan Gus Dur pun berhasil didapatkan. 

Jika ditarik mundur ke belakang, tragedi jatuhnya Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari kroni-kroni orde baru (orba)—termasuk  anak-anak Soeharto—yang  masih bertebaran di mana-mana. Mereka yang terkungkung dalam zona nyaman antidemokrasi ini pun berusaha menggembosi Gus Dur dari berbagai arah. Tidak cukup menghasut Megawati –yang  merupakan barisan sakit hati karena kekalahan pilpres—upaya  menjatuhkan presiden juga ditempuh lewat massa islam radikal. Fuad Bawazier juga memanfaatkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) connection dan media massa untuk menggiring opini buruk tentang Gus Dur. Presiden dituduh melakukan KKN dan tindakan inkonstitusional. 

Apabila ditelisik lebih lanjut, semuanya bermula saat Gus Dur memecat Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Semenjak kejadian itu, presiden dihadapkan pada dua kekuatan politik terbesar di DPR, yakni Golkar dan PDIP. Merasa tidak terima atas pemecatan tersebut, juga hal-hal lainnya seperti penegakan supremasi sipil, pencabutan dwifungsi ABRI, mengganti pejabat yang KKN, pembubaran departemen yang dianggap lumbung korupsi; Golkar, PDIP, dan poros tengah yang dulu mendukung pencalonan Gus Dur, justru berbalik arah menyerangnya. Tindakan menjijikkan para elit politik tersebut juga melahirkan istilah yang kita kenal sebagai Buloggate dan Bruneigate. Tuduhan tersebut yang digoreng oleh Arifin, Fuad, dan kawan-kawan untuk menjatuhkan presiden dengan alasan presiden telah melakukan KKN dan melanggar sumpahnya. Lantas keadilan sejarah berbicara bahwa tuduhan tersebut tidak terbukti pada akhirnya.

Rentetan sejarah mulai dari Memorandum I, Memorandum II, dekrit presiden, hingga sidang istimewa MPR, sejatinya memberi pelajaran bagi kita. Sikap heroik Gus Dur yang menolak tawaran dukungan massa dengan syarat penerapan mutlak syariat islam di Indonesia seolah mengingatkan kita bahwa kepentingan negara dan umat harus didahulukan daripada ambisi untuk berkuasa. Tragedi kelam pemakzulan presiden kala itu harusnya juga menyadarkan kita bahwa ada yang salah dengan politik identitas—yang  dimotori dan ditandai oleh Amien Rais beserta kawan-kawan islam politik. 
Sebagai sebuah karya, tentulah maklum jika ada satu dua kekurangan di dalam buku ini. Salah ketik, ketidaktepatan penempatan tanda baca, dan beberapa narasi yang serupa catatan mentah hasil rapat ala aktivis organisasi, semoga lebih diperhatikan ke depannya.

Terlepas dari satu dua kekurangan buku MGD ini, penulis patut untuk diacungi jempol. Semoga ini bukan akhir dari perjalanan mengungkap sejarah. Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Agar kita bisa belajar dari awan gelap masa lalu. Supaya media massa kita lebih beretika agar iklim politik kita tidak stuck di situ-situ saja. Tentunya, pun agar demokrasi menemukan makna sejatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *