Home Ads

Senin, 06 Juli 2020

Resensi Buku Sekolah Itu Candu, Roem Topatimasang

Judul: Sekolah Itu Candu
Penulis: Roem Topatimasang
Penerbit: Insist Press
Tahun terbit: Maret 2018 (Cetakan ke-13)
Genre: Nonfiksi
Peresensi: Khalimatu Nisa

“Masihkah pantas sekolah mengakui diri sebagai pemeran tunggal yang mencerdaskan dan memanusiakan seseorang?”
Gugatan itu terpampang di sampul belakang buku yang sekilas tampak biasa-biasa saja ini. Melihat tampilan cover-nya yang sederhana, calon pembaca boleh jadi merasa kurang tertarik. Namun sesungguhnya potret dari depan pintu ruang kelas sekolah dasar yang memberi kesan ‘mengintip’ itu mengisyaratkan bahwa buku ini sedang mengawasi serta mengkritisi bagaimana sistem sekolah bekerja dari luar.

Buku yang pertama diterbitkan pada 1998 ini berisi empat belas esai Roem Topatimasang (Pak Roem) yang ditulis sejak 1970-an hingga awal 2000-an. Dikerangkai dengan istilah “candu” naskah ini memandang institusi sekolah sama halnya dengan bagaimana Karl Marx mendefinisikan agama. Bukan candu dalam arti membuat ketagihan tapi lebih kepada ilusi yang diciptakan untuk “kebaikan” umat manusia.

Menyitir Carl Gustav Jung, Pak Roem juga menyebut sekolah telah menjelma sebagai ketidaksadaran kolektif. Sekolah memang telah terinternalisasi sedemikian rupa dalam bagian keseharian kita, melalui suatu proses sejarah yang panjang dan lama, yang sedemikian berpengaruh terhadap kehidupan perseorangan dan perkauman kita (hlm 96). Sehingga, sekolah kerap kali dijadikan sebagai tolak ukur kebenaran. Mereka yang gagal menjalani proses sekolah dianggap salah, bahkan kalah.
Berangkat dari argumen besar itu, lewat esai-esainya Pak Roem membongkar aneka macam kesalahkaprahan yang terjadi di dunia sekolah. Lewat esai pembuka bertajuk “Sekolah: dari Athena ke Cuernavaca” ia menelusuri akar makna harfiah “sekolah” hingga perkembangannya di masa kini. Kata sekolah bisa dilacak dari tradisi Yunani Kuno yang mengartikan skhole, scola, scolae, atau schola sebagai ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang’. Konon kaum pria dewasa Yunani Kuno biasa mengisi waktu luang mereka dengan mengunjungi suatu tempat atau seorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ihwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. (hlm 6) 

Tradisi itu kemudian diwariskan kepada anak-anak mereka. Para orang tua di Yunani Kuno mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan cara ber-skhole untuk belajar dan bermain. Lama kelamaan, semakin banyaknya anak yang dititipkan di skhole muncullah pola yang semakin teratur. Pada abad ke-17, Johannes Amos Comenius, Uskup Agung Moravia menelurkan magnum opus kitab Didactica Magna yang dianggap sebagai peletak dasar ilmu pendidikan atau teori pengajaran yang semakin berkembang di kemudian hari. 
Kini, sekolah yang pada awalnya sekadar kegiatan mengisi waktu luang telah melembaga hingga dianggap sebagai hakikat pendidikan itu sendiri. Padahal, pelembagaan sekolah pada praktiknya justru banyak mereduksi makna belajar.

Dari Sulawesi Selatan, Pak Roem menunjukkan sejumlah bukti. Di esai “Robohnya Sekolah Rakyat Kami” ada cerita sekolah rakyat yang sederhana dan aktivitasnya sangat terkait dengan lingkungan sekitar dan kegiatan praktikal. Setiap empat bulan sekali, guru, murid, dan wali murid akan masuk ke hutan mencari pelepah atau daun sagu segar untuk dianyam menjadi dinding atau atap baru sekolah mereka. 

Enam bulan sekali murid-murid akan dilibatkan membantu kegiatan panen di ladang masyarakat. Upah panen akan diberikan ke siswa dan sedikit disumbangkan ke sekolah untuk tabungan rekreasi ke hulu sungai. Di akhir tahun ajaran, sekolah mengundang penduduk sekitar untuk kenduri akbar dalam rangka syukuran.

Namun kini sekolah tersebut tinggal cerita. Bangunan sekolah sudah didirikan baru dan lebih bagus. Murid-murid tak perlu lagi repot-repot mengganti dinding dan atap secara berkala atau sekadar membersihkan halaman karena kini sekolah sudah mempekerjakan tukang kebun. Para siswa datang berseragam dan tak ada lagi beban kerja. Kegiatan fisik dilakukan dengan senam bersama. Potret ini menunjukkan bagaimana sekolah, atas nama modernisasi berhasil merenggut kearifan lokal, menjauhkan siswa dari masyarakatnya.

Masih di Sulawesi, ada pula cerita soal sekumpulan anak-anak yang harus jalan kaki sejauh 10 kilometer untuk menuju sekolahnya. Mereka harus menerabas hutan penuh semak belukar, mendaki dua lereng, meniti jembatan kayu untuk sampai ke sekolah tiap harinya. Aktivitas ini sudah dilakukan oleh tiga generasi kelompok petani yang tak memiliki sekolah di dusunnya. Kini, tidak ada penduduk yang tidak mengecap bangku sekolah. 

Tetapi fakta itu nyatanya tak mengubah nasib warga dusun. Mereka tetap menjadi petani tradisional, peternak kecil, atau peramu hasil hutan. Masalah yang mereka hadapi juga masih sama; kurangnya sarana pengairan sawah, kelangkaan benih, belum adanya teknologi tepat guna untuk membantu mengolah hasil pertanian atau melawan hama. Lalu apa yang didapatkan dari sekolah?

Sekolah digadang-dagang sebagai pembentuk moral serta etika, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga mengasah keterampilan. Namun, dalam tulisannya Pak Roem menampik dengan membeberkan potret kenakalan remaja, mentalitas serba instan, dan jiwa korup yang mengakar pada bangsa ini. Bahwa teknologi justru lebih banyak dikembangkan oleh militer serta industri, dan tak ada lulusan yang sanggup bekerja di perusahaan tanpa melalui pelatihan terlebih dahulu.

Menganggap sekolah penuh dengan inkonsistensi dan kontroversi, Pak Roem pun sampai pada kesimpulan radikal bahwa sekolah sudah mati, alias tidak lagi relevan. Memang, perubahan dalam sistem sekolah di negeri ini tidak pernah absen dilakukan. Berbagai metode, strategi, dan aneka kurikulum telah diuji coba tapi hasilnya tak signifikan. Perubahan yang dilakukan rupanya tak pernah menyentuh hakikat. Alih-alih revolusi, Pak Roem menyebutnya sebagai involusi sekolah.

Kembali lagi pada definisi sekolah yang pada dasarnya berubah sesuai dengan zaman dan kepentingan penguasa, maka, menurut penulis yang pernah drop out dari IKIP Bandung ini, tak ada yang paten dari sekolah. Oleh karenanya segala atribut dan kemapanan yang melekat padanya selama ini bukanlah sesuatu yang sakral dan mesti dikeramatkan, selalu boleh digugat dan dicari alternatifnya.

Secara keseluruhan buku ini memaparkan potret buram sekolah dengan gaya bertutur yang santai, penuh humor serta satire namun tak mengurangi ketajamannya. Kuatnya referensi yang disertakan di catatan kaki juga menambah gizi bacaan ini. Meski ditulis beberapa dekade silam, isu yang diangkat masih terasa relevan, indikasi lembaga sekolah memang belum banyak berubah. Tapi, di ujung halaman, setelah menelan paparan yang mengobrak-abrik pemahaman yang mapan akan sekolah selama ini, timbullah satu pertanyaan; apakah kita benar-benar tak bisa berharap pada institusi sekolah? Jika iya, alternatif apa yang bisa diambil? Buku ini belum menyediakan jawabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *