Home Ads

Selasa, 22 Desember 2020

Resensi Buku Amba, Laksmi Pamuntjak

Judul buku: Amba

Pengarang: Laksmi Pamuntjak

Tahun terbit: cetakan ke-10, 2020

Penerbit: PT. GPU

Genre: Fiksi sejarah

Peresensi: Wafa’ Hanim A

“Salah satu yang mendasar dalam nilai-nilai adalah menghargai manusia bukan karena kekuatannya, bukan karena politiknya, tetapi karena prestasinya, akhlaknya, dan pengabdiannya. Politik tidak boleh mengalahkan semuanya, tidak boleh merombak dasar kehidupan bersama yang sudah teruji.” (Amba, 297)

 

Ketertarikan saya akan fiksi sejarah membawa saya pada salah satu buku fiksi yang berlatar belakang peristiwa G30S/PKI atau mungkin ada yang menyebutnya dengan Gestapu dan Gestok, yang berjudul Amba karya Laksmi Pamuntjak. Pada mulanya novel ini diterbitkan dalam Bahasa Inggris dengan judul The Question of Red karena dorongan membuat novel berlatar belakang sejarah Indonesia yang bisa diapresiasi dalam skala internasional. Lalu pada Oktober 2012, pengarang menerbitkan versi bahasa Indonesianya dengan judul Amba. 


Jelas bahwa tokoh utama dalam novel ini tentu Amba, perempuan yang terjebak pada kisah masa lalu yang belum selesai. Nama Amba, yang diberikan oleh ayahnya, diilhami dari epos Mahabharata, Putri Amba yang menaruh dendam karena cintanya tidak diterima oleh dua lelaki, Salwa dan Bisma. Selama hidupnya, Amba dalam kisah ini berusaha menuliskan takdirnya sendiri. Cerita dimulai dari kisah Amba yang pergi ke Buru di tahun 2006 untuk menyusuri jejak Bhisma yang hilang setelah kejadian penyerbuan di Universitas Res Publica 1965. Tanpa keraguan, Amba yang saat itu berkepala enam pergi ke Pulau Buru untuk pertama kali ditemani oleh seorang sahabat Bhisma, Zulfikar. Dalam perjalanannya dari Namlea menuju Waeapo menggunakan kapal yang penuh sesak oleh orang yang mengeluarkan bau tidak enak, ia secara kebetulan bertemu dengan Samuel, laki-laki paruh baya yang lahir di Buru dan mengenal pulau itu lebih baik dari Amba. Kepada Samuel yang membantunya selama di Buru untuk mendapatkan informasi terkait kekasihnya, ia menceritakan kisah hidupnya.


Amba lahir dan menghabiskan masa sekolahnya di Kadipura, salah satu desa di Kabupaten Klaten. Amba tumbuh menjadi gadis berpendirian kuat, cerdas dan lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku. Ketertarikannya pada buku membuatnya bertekad masuk ke UGM dan memilih jurusan Sastra Inggris. Meskipun ibunya sempat menentang keputusan Amba, namun ayahnya meyakinkan bahwa ini jalan yang baik untuknya, yang juga diyakinkan dengan hadirnya Salwa dalam hidup Amba. Orang tuanya sudah mengenal Salwa terlebih dahulu dan jatuh hati pada orang yang diharapkan menjadi calon menantu itu. Hubungan mereka baik-baik saja sampai Amba bertemu dengan Bhisma, dokter rumah sakit di Kediri tempat Amba magang sebagai penerjemah artikel jurnal selama dua minggu. 


Dua minggu menjadi waktu yang berarti bagi kedua insan tersebut seolah pertemuan ini adalah takdir, dalam waktu singkat hubungan mereka menjadi sangat dekat dan dalam. Sekembalinya ke Jogja dari Kediri, Bhisma dan Amba masih terus bertemu dalam setiap kesempatan yang ada, yang membuat Amba memutuskan hubungannya dengan Salwa atas dasar cintanya pada Bhisma dan tidak lagi sanggup menodai perasaan Salwa yang tulus dan suci padanya. Namun penyerbuan di Universitas Res Publica pada 19 Oktober 1965 membuat keduanya terpisah untuk selamanya tidak lama setelah mereka bertekad untuk hidup bersama di Jakarta setelah semua kerusuhan ini mereda. Amba yang akhirnya menyadari bahwa ia mengandung anak Bhisma, memilih pergi ke Jakarta dan menikah dengan seorang tutor Bahasa Inggris yang ia temui di UGM bernama Adalhard yang sangat mencintainya tanpa tahu bagaimana kabar Bhisma hingga datang kabar kematian Bhisma yang diterimanya melalui email pada 2006.


Membaca buku ini sudah pasti akan meninggalkan kesan yang sulit hilang, paling tidak itu yang saya rasakan. Kesan yang langsung saya dapatkan begitu membaca setiap kata adalah diksi yang membius, menyihir, atau apapun itu yang bisa menggambarkan kondisi di mana saya merasa takjub dan serasa ingin membaca ulang setiap rangkaian kalimatnya. 


Selanjutnya, karakter setiap tokoh dibangun dengan sangat baik, khususnya karakter utama dalam kisah ini. Amba dibesarkan oleh orang tua dengan karakter yang kuat, seorang ibu yang mengajarkan kemandirian dan mengerti otoritas diri dalam keluarga, ayahnya yang menamainya dari tokoh Tuan Putri pendendam yang dikhianati oleh dua cinta, cinta Salwa dan Bhisma dalam epos Mahabharata, dengan harapan Amba putrinya yang berpendirian kuat itu kelak akan menuliskan takdirnya sendiri. Amba tumbuh menjadi gadis yang mencintai sajak-sajak sastrawan Eropa seperti T.S. Eliot dan Matthew Arnold, sehingga meskipun ia tumbuh menjadi perempuan yang keras kepala namun ia memiliki sensitivitas terhadap kata dan cinta. Sama halnya dengan karakter Bhisma dan Salwa, kita diajak menyelami dunia Bhisma melalui kisah yang ia tuturkan pada Amba setiap mereka memiliki kesempatan bersama, ketertarikannya pada seni, pada pemikir-pemikir revolusioner seperti Che Guevara dan Rosa Luxemburg, dan dedikasi seorang dokter sekaligus seorang aktivis sosial sebagai jalan penebusannya karena lahir dan tumbuh dengan nyaman dan mapan. Lalu Salwa, kekasih Amba yang menjunjung tinggi nilai dan norma kesopanan, memperlakukan cinta dengan agung, memiliki keteguhan dan kesetiaan hati yang tidak tergoyahkan.


Kesan terakhir yang begitu melekat, nilai sejarah. Selama ini saya kenal peristiwa G30S PKI hanya dari buku sekolah atau film yang dibuat oleh mereka yang memiliki kuasa dalam membuat narasi besar sejarah Indonesia. Narasi itu terus didengungkan dan menutup suara dari cerita yang tidak popular, kisah personal, kisah para rakyat jelata yang menjadi korban sejarah, yang tidak memiliki ruang untuk menceritakan kisah dan pandangannya di atas podium dengan suara lantang dan keras. Novel ini, salah satunya, hadir di tengah ceruk kosong itu: mengisi porsi kecil dari peristiwa sejarah tersebut. Sebagaimana tujuan pengarang yang ingin mengenalkan sejarah merah dengan menyajikan fiksi ini, saya pun merasa tujuan tersebut tercapai. Melalui percakapan antara Amba dan Bhisma selama di Kediri dan di Jogja, diskusi Bhisma dengan kawan-kawannya yang didengar oleh Amba, dan juga surat-surat dari Buru yang disusun dengan detail yang cermat, tidak berlebihan namun terasa cukup memberikan gambaran bagaimana seorang aktivis kelompok kiri berusaha untuk ikut andil dalam peristiwa yang mengubah arah politik Indonesia melalui perspektif yang lebih dekat, seolah kita mendengar cerita dari teman terdekat, bukan dari panggung penguasa. Khususnya surat dari Buru, yang juga berkesan untuk saya, yang memberikan sudut pandang baru untuk menepis setereotip tahanan politik atau tapol yang buruk, bengis, dan tak punya hati. 


Membaca buku Amba seperti diajak melewati lorong waktu, menyaksikan sejarah runtuhnya Orde lama dengan ditandai oleh kerusuhan di beberapa kota khususnya di Jakarta, Jogja dan Kediri, dari mata seorang Amba. Kita tidak diajak untuk menghakimi satu pihak dan pihak lain, namun mendengarkan cerita dari sisi yang lain. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *