Home Ads

Senin, 30 November 2020

Resensi Buku Dua Barista, Najhaty Sharma

Judul: Dua Barista
Pengarang: Najhaty Sharma
Tahun terbit: 2020
Penerbit: Telaga Aksara
Genre: Fiksi, Sastra Pesantren
Peresensi: Ihdina Sabili


Antara Cinta dan Khidmah

Adakah perempuan di muka bumi ini menginginkan menjadi yang kedua? Kupikir ini sangatlah mendekati mustahil. Secara naluriah, sangat manusiawi, siapapun pasti ingin menjadi satu-satunya. Tidak direbut oleh siapapun. Tidak terbagi dengan siapapun. Tidak dikalahkan dari siapapun. Baik laki-laki atau perempuan. Karena jujur saja kita masih manusia. Punya akal dan perasaan. Punya logika punya rasa. Punya otak punya hati. Begitulah lazimnya. 

Kiranya yang dialami Ning Maza sama sekali bukanlah impian satu pun perempuan lainnya. Meski terlahir dari keluarga yang berada dan dihormati oleh masyarakat, tak menjamin ia senantiasa mendapatkan kebahagiaan lahir batin tanpa cela. Masa mudanya begitu cemerlang membuatnya menjadi bintang gemerlapan. Paras yang anggun dan kecakapan berbagai keahlian membuatnya semakin layak diidolakan. Semuanya terasa indah hingga puncaknya dia menikah, bersanding Gus Ahvash yang juga begitu sempurna. Benar-benar bak cerita di negeri dongeng. 

Hingga akhirnya mimpi buruk itu terjadi. Karena tak kunjung diberi keturunan, akhirnya Ning Maza harus merelakan suaminya terbagi dengan wanita lain. Proses pemilihan sang selir pun diprakarsai sendiri olehnya. Entah begitu malaikat hatinya kala itu. Saat telah resmi bersanding dengan perempuan lain, hari demi hari pun mulai terasa sesak baginya. Satu masalah kecil pun bisa merebak dibumbui salah paham hingga semakin membengkak. Hari-hari Ning Maza berangsur kelam dan berat. Meski begitu, dia tetaplah perempuan berjiwa ksatria yang mengedepankan kebahagiaan suami serta mertuanya.

Khidmah, itulah satu landasan besar cinta dan kehidupan para tokoh dalam Dua Barista ini. Rasa tawadlu’ Ning Maza pada sang mertua, rasa taat Gus Ahvash pada orangtuanya, rasa tawadlu’ Badrun pada Gus Ahvash dan rasa hormat taat Meysaroh sebagai santri pada keluarga gurunya. Semuan ini menjadi satu perekat sekaligus pengikat yang berakibat pada perilaku yang muncul. Beberapa pilihan muncul di hadapan Gus Ahvash membuatnya berpikir keras hingga jatuh sakit. Bagaimana rumitnya membagi waktu, terlebih hati untuk dua istri. Bagaimana menghadapi desas-desus dari orang sekitar. Hingga pada akhirnya khidmah sejatilah yang memenangkan situasinya. Tentunya setelah melalui berbagai liku terjal perjalanan. Karena tekanan yang tinggi dapat melahirkan karakter yang jauh lebih tangguh (halaman 491).

Novel fiksi berlatar kehidupan pesantren yang berjumlah 495 halaman ini begitu cepat menyihir para pembacanya. Pendalaman karakter pada masing-masing tokohnya dibuat begitu cantik oleh Najhaty Sharma sehingga membuat para pembaca terhanyut alur ceritanya. Beberapa keterangan mengenai kehidupan pesantren semakin melengkapi penjiwaan konteks cerita, terlebih oleh para pembaca santri. Tentu sebuah harapan besar semakin banyak lagi karya-karya fenomenal yang lahir dari kehidupan indah kala di pesantren.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *