Home Ads

Jumat, 23 Juli 2021

Resensi Buku Convenience Store Woman, Sayaka Murata

Judul: Convenience Store Woman

Pengarang: Sayaka Murata

Tahun terbit: 2018

Jumlah halaman: 90

Penerbit: Grove Press, New York

Genre: Novela Jepang

Peresensi: Wafa’ Hanim A.


Buku ini diterjemahkan dari bahasa Jepang berjudul ‘Konbini Ningen’ (2016) dengan arti harfiah ‘Manusia Minimarket’ (GPU, 2020). Pemilihan penerjemahan menjadi Convenience Store Woman dalam bahasa Inggris dan ‘Gadis Minimarket’ dalam bahasa Indonesia merupakan pertimbangan tokoh utamanya, seorang perempuan bernama Keiko Fururuka.


Convenience Store Woman menarik perhatian saya karena sebagai mahasiswa studi Jepang, buku ini semacam menjadi representasi masyarakat Jepang modern, setidaknya itu yang sering saya temukan ketika mencari review buku ini. Melalui buku ini, pengarang juga mendapatkan Akutagawa Prize, penghargaan bergengsi di Jepang untuk penulis muda yang mulai debut. Best seller di Jepang, Konbini Ningen mendapat perhatian dari pembaca luar negeri dan diterjemahkan ke 39 bahasa.

Bagi yang belum familiar dengan masyarakat Jepang modern, mari berkenalan dengan Keiko Fururuka, seorang perempuan berusia 36 tahun, bekerja sebagai pegawai paruh waktu di minimarket Smile Mart Stasiun Hiromachi selama 18 tahun sejak minimarket ini dibuka pada 1998. Melalui kacamata Keiko, kita bisa melihat masyarakat Jepang yang masih memegang teguh ‘keseragaman’. Jepang yang mengklaim diri sebagai masyarakat yang homogen, membuat semacam standard kenormalan bagi warganya untuk hidup dengan nilai yang sama hingga muncul peribahasa ‘Paku yang menonjol harus dipukul rata’, artinya siapapun yang terlihat ‘berbeda’ dengan yang lain harus dipaksa menjadi ‘sama’.

Keiko mengalami tuntutan ini selama hidupnya. Keiko kecil dianggap tidak normal karena memiliki pemikiran yang berbeda dengan anak seusianya, misalnya ketika teman-teman TK-nya sepakat untuk mengubur seekor burung yang mati, Keiko malah berpikir akan lebih bermanfaat jika burung ini dibawa pulang dan digoreng untuk lauk makan. Kejadian yang mirip terulang beberapa kali di sekolah hingga membuat orang tua Keiko kebingungan dan mengharuskan mereka untuk ‘menyembuhkan’ Keiko. Belajar dari pengalaman, Keiko tumbuh menjadi anak penurut, tidak banyak tingkah, bersikap dan bereaksi seperti anak-anak lain di sekelilingnya agar dianggap normal. Dengan ini orang tua dan adik perempuan satu-satunya, Mami, akan lebih tenang.


Keiko merasa menjadi ‘normal’ dan bisa masuk dalam lingkaran masyarakat Jepang setelah menjadi pegawai minimarket di usia 18 tahun, terdapat serangkaian aturan dalam buku manual bagi para pegawai baru, mulai dari bagaimana melayani pelanggan, berekspresi, maupun menata rak makanan. Ini pertama kali dalam hidup Keiko, ada aturan yang jelas dan terperinci bagaiamana seharusnya manusia menjalankan satu profesi dengan baik. Dia merasa nyaman dengan profesinya karena dia dinilai dan dihargai dari dedikasinya pada pekerjaan, bukan kehidupan pribadinya.


Semua berjalan normal hingga Keiko menginjak usia 36 tahun, masih berstatus single dan pekerja paruh waktu, di mana kombinasi ini bukan hal yang dianggap ‘lazim’ di lingkungannya. Perempuan Jepang single pada umumnya adalah mereka yang memilih berkarir di perusahaan dan menjadi pegawai tetap, sedang mereka yang memilih menjadi pekerja paruh waktu adalah ibu rumah tangga yang bekerja di sela-sela waktu mengasuh anak dan rumah. Lingkaran pertemanan satu-satunya di luar lingkungan kerjanya yang masih Keiko pertahankan mulai menyudutkan Keiko dengan pertanyaan seputar pilihan hidupnya. Mengapa masih jadi pegawai paruh waktu?, mengapa belum menikah?, dan lain sebagainya. Pertanyaan semacam ini membuatnya risih dan membuat Keiko berbohong demi dianggap normal.


Lalu hadirlah Shiraha, pegawai paruh waktu baru di tempat kerja Keiko namun tidak bertahan lama karna dia tidak mengikuti panduan pegawai dengan baik dan kedapatan menguntit pelanggan perempuan dan mengganggu pegawai perempuan yang lain. Niat Shiraha bekerja pun sebenarnya untuk mencari jodoh, siapa tau ada pegawai atau pelanggan yang cocok. Singkat cerita, Shiraha dan Keiko sampai pada kesepakatan mereka tinggal bersama setelah mempertimbangkan latar belakang Shiraha yang tidak memiliki pekerjaan, bermasalah dengan keluarganya dan tidak memiliki tempat tinggal, selain itu juga Keiko mendapatkan keuntungan: dianggap normal dan terhindar dari tuntutan atau pertanyaan menyudutkan yang diajukan orang di sekelilingnya. 


Potret Masyarakat Jepang Modern


Selain menunjukkan tuntutan konformitas yang kuat, novela ini juga menunjukkan konsekuensi bagi mereka yang dianggap melakukan penyimpangan dengan tidak on the track: terkucilkan dan teralienasi yang membuat mereka menarik diri dari masyarakat. Fenomena sosial menarik diri ini menjadi masalah yang cukup meresahkan, hingga muncul terminologi hikikomori (stay indoors) yang kerap jadi pilihan bagi siswa/mahasiswa korban perundungan.

Tokoh Keiko sendiri adalah representasi individu yang mengalami celibacy syndrome, singkatnya adalah ketidaktertarikan pada hubungan romantis dan seksual. Keterikatannya pada identitasnya sebagai pegawai minimarket juga merupakan ciri masyarakat Jepang yang berorientasi pada kelompok, lebih suka dikenal sebagai bagian dari kelompok tertentu.

Kemunculan Shihara sebagai tokoh pembanding juga menjadi kritik pada masyarakat yang masih seksis, tidak ada perubahan yang berarti meskipun zaman Jomon (zaman batu) sudah berlalu sekian ribu tahun, masyarakat masih menilai individu dengan standar yang sama: laki-laki dan perempuan harus sama-sama menjalankan perannya di masyarakat dengan baik, laki-laki bekerja dan menafkahi keluarga, perempuan di rumah menjadi istri dan ibu yang mengurus anak/keluarga. Standar yang digunakan masih pada lingkaran karir-pernikahan-berkeluarga. Setelah membaca buku ini, saya jadi mempertanyakan kembali, apa sih indikator normal yang sesungguhnya? Seberapa besar kita, masyarakat, bisa menoleransi perbedaan pilihan orang lain?

Saya akan mengakhiri resensi dengan salah satu kutipan dari buku:


“Our so-called modern society is just an illusion. We’re living a world that has hardly changed since prehistoric times. We might go on about equality sexes, but—" 


“…Masyarakat modern itu cuma ilusi karena meski berbicara soal persamaan gender, kita tetap hidup di dunia yang sama seperti Zaman Jomon…”


“…This society hasn’t changed one bit. People who don’t fit into the village are expelled: men who don’t hunt, women who don’t give birth to children. For all we talk about modern society and individualism, anyone who doesn’t try to fit in can expect to be meddled with, coerced, and ultimately banished from the village.”


“…sejak Zaman Jomon masyarakat tak berubah. Mereka yang berguna bagi kelompok akan disingkirkan: laki-laki yang tak berburu dan perempuan yang tak mampu melahirkan keturunan. Meskipun masyarakat modern bicara soal individualism, mereka yang berbeda harus bersiap untuk dicampuri urusannya, ditekan, dan akhirnya diasingkan dari desa.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *