Home Ads

Kamis, 22 Juli 2021

Resensi Buku Kekasih Musim Gugur, Laksmi Pamuntjak



Judul: Kekasih Musim Gugur

Pengarang: Laksmi Pamuntjak

Tahun terbit: 2020

Jumlah halaman: 451

Penerbit: PT GPU

Genre: Novel

Peresensi: Wafa’ Hanim A.



Buku yang merupakan lanjutan buku Amba ini saya selesaikan dalam waktu yang lebih lama dari buku pertamanya. Meskipun buku lanjutan, namun tidak ada keharusan untuk melanjutkan membaca buku karya Laksmi Pamuntjak ini karena cerita mengenai Amba sudah selesai di buku sebelumnya dan buku ini mengisahkan hidup anak Amba, Srikandi atau Siri. 


Jika Amba menggunakan sudut pandang orang ketiga yang tahu segala cerita tokoh-tokohnya, buku ini menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu POV Siri dan Dara yang dihadirkan bergantian. Jika buku Amba sarat dengan kedekatan pengarang dengn literatur puisi Barat, Kekasih Musim Gugur banyak membicarakan karya seni rupa terkemuka dunia yang diceritakan dengan “tlesih” melalui kacamata Siri, seorang perupa yang memilih tinggal di Berlin setelah vakum cukup lama dari dunia seni rupa dan berniat membangkitkan kembali daya kreativitasnya yang menurun.


Pembaca akan langsung tahu kenapa penulis memilih judul Kekasih Musim Gugur ketika membaca halaman awal buku ini dan memang tokoh yang terlibat adalah para kekasih musim gugur. Cerita berpusat pada proses kembalinya Siri dari masa vakumnya dengan melakukan pameran patung seri Man and Woman/Reconfigured yang akan digelar di Jakarta setelah ia bertemu dengan salah satu dealer Berlinnya, Sally O’ Malley. Belum sampai terlaksana, dan baru diumumkan, pameran ini menuai banyak kecaman dari kelompok garis keras yang menganggap karya tersebut tidak pantas dipamerkan di depan publik dengan alasan menampilkan bagian vital tubuh manusia, dan parahnya jika kecaman ini tidak diindahkan akan mengancam nasib keluarganya, itu yang disampaikan anak tirinya Amalia dengan mengunjungi Siri di Berlin. Di sela-sela penyelesaian masalah inilah pengarang menceritakan bagaimana kehidupan Siri setelah bertemu dengan Mathias, pacar Jermannya, ketegangan hubungannya dengan ibunya, dan hubungannya dengan Amalia. Kondisi Amalia yang mengandung anak Arif, adik Dara, lah yang memperparah hubungan Siri dengan Dara, karena masing-masing memiliki jalan penyelesaian yang berbeda. Mungkin inti alurnya bisa dibilang tidak rumit, namun penulis memperlihatkan betapa hubungan manusia yang terlibat di dalam masalah ini termasuk jenis kerumitan yang berlapis karena masing-masing memiliki emosi dan kekhawatirannya sendiri. Menuju penghujung halaman, hubungan rumit yang terjalin antartokoh pelan-pelan mulai terurai, Siri tak lagi menjalani hari dengan menanggung beban kebencian dan perasaan ingin balas dendam pada ibunya yang tidak mencintai ayah asuhnya, dan upaya Siri untuk kembali ke dunia seni rupa mulai menunjukkan jalan terang dengan diadakannya pameran 9 potret wajah ayah kandung yang hanya ia lihat dalam mimpinya.


Indonesia darurat toleransi?


Jika dibanding dengan buku sebelumnya, kisah di buku ini minim mengangkat sejarah, namun lebih menunjukkan bagaimana dampak sejarah pada keluarga dan keturunan pelaku sejarah. Yang menarik dari buku ini adalah kritik sosial yang disisipkan oleh penulis melalui percakapan-percakapan tokoh. Seperti ketika seorang investor acara pameran lukisan Siri, Pak Septa Liem, sulit menerima keputusan pembatalan dengan alasan pertaruhan nasib keluarga dan kecaman dari kelompok garis keras penjaga moral bangsa yang datang bahkan sebelum pameran benar-benar dilaksanakan dan mempertanyakan tindakan Dara sebagai anggota LSM yang menangani urusan diskriminasi dan memegang nilai kesetaraan.


*Gimana-gimana juga ini Jakarta, Pak. Kita tak bisa bertahan kalau keukeuh melawan kemauan mayoritas. Tapi aku urung mengatakannya dengan lantang.


“…Anda benar-benar akan membiarkan saya intoleransi sekala besar ini terus berkembang di negeri kita yang terkenal begitu toleran?” (hal. 345)


“Saya sudah berhenti menonton atau membaca berita, Bu Srikandi. Ada begitu banyak kebencian di sana. Dan tidak hanya terhadap kami, tetapi juga terhadap kaum minoritas lain.” (hal. 381)*

 

Ketika membaca ini melalui pendekatan sosiologi sastra, artinya sastra adalah cerminan dari suatu masyarakat, saya jadi berpikir setelah menemukan percakapan di atas: apa saja indikator toleransi? Seberapa jauh hal-hal yang patut ditoleransi dan tidak? Apakah sebenarnya di mata minoritas kami belum cukup toleran? Apakah Jakarta bisa menjadi tolak ukur apa saja, termasuk sikap intoleransi dan toleransi? Indonesia sebelah mana yang intoleran dan sudah toleran? 


Saya jadi harus lebih banyak membaca dan berkaca, sebagai bagian dari mayoritas, apakah saya sudah cukup toleran, seberapa jauh yang bisa dan boleh saya tolerir? Setidaknya ini menjadi refleksi ketika saya membaca buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *