Judul: Lessons in Chemistry
Pengarang: Bonnie Garmus
ISBN-13: 978-0385547345
Penerbit: Doubleday (April 5, 2022)
Genre: Tragicomedy
Peresensi: Aida Mudjib
“Dunia ini adalah sistem persamaan. Dan jika kamu tidak memastikan variabelmu berada di tempat yang benar, semuanya akan berantakan.” – Elizabeth Zott, Lessons in Chemistry
Lessons in Chemistry karya Bonnie Garmus adalah salah satu novel yang tetap terngiang di pikiran saya lama setelah saya menyelesaikannya. ceritanya cerdas, penuh emosi, dan memprovokasi tentang Elizabeth Zott, seorang ahli kimia di tahun 1960-an yang berjuang melawan hambatan sistemik yang menahan kemampuannya hanya karena ia perempuan. Yang membuat karakter Zott semakin menarik adalah, ia memiliki ciri-ciri penyandang autisme. Interaksinya dengan dunia dan orang-orang di sekitarnya, pendekatannya terhadap ilmu pengetahuan, serta ekspresi emosionalnya mengisyaratkan cara unik khas penyandang autism dalam berinteraksi dengan dunia.
Sinopsis Singkat
Lessons in Chemistry mengisahkan Elizabeth Zott, seorang ahli kimia berbakat di California pada tahun 1960-an yang kariernya terhenti akibat diskriminasi gender. Setelah menjadi ibu tunggal, ia secara tak terduga menjadi bintang acara memasak televisi, Supper at Six, di mana ia mengajarkan sains melalui resep masakan. Melalui pendekatan uniknya, Zott menantang norma sosial dan memberdayakan perempuan untuk berpikir kritis dan mandiri.
Buku ini ditulis oleh Bonnie Garmus, seorang penulis asal Amerika Serikat dan mantan copywriter dari Riverside, California dan diadaptasi menjadi miniseri oleh Apple TV+ yang tayang perdana pada 13 Oktober 2023, dibintangi oleh Brie Larson sebagai Elizabeth Zott. Miniseri ini meraih pujian dan memenangkan beberapa penghargaan, termasuk Emmy Awards.
Seorang Wanita Brilian yang Berjuang untuk Tempatnya
Elizabeth Zott hidup di dunia yang mengharapkannya untuk menjadi perempuan penurut, patuh, berbudi dan terbatasi di rumah, sementara yang dia inginkan adalah melampaui sekat ilmu pengetahuan. Zott adalah seorang ahli kimia yang luar biasa, tetapi bukannya mendapatkan pengakuan dan penghargaan, dia malah menghadapi ejekan dan patronisasi. Saya tidak bisa tidak merasa bersimpati kepadanya ketika dia berjuang untuk menemukan tempatnya di laboratorium yang penuh dengan pria yang terpaksa mengizinkannya di sana sejak awal.
Salah satu momen dalam buku yang tetap saya ingat adalah ketika Elizabeth, setelah diremehkan untuk mengikuti promosi karir yang seharusnya menjadi haknya, berpikir, “Ini bukan lagi tentang ilmu pengetahuan, ini tentang membuat semua orang lain merasa nyaman.” Kalimat ini sangat kuat karena menyoroti kenyataan brutal bahwa perempuan, diharapkan menekan ambisi mereka agar sesuai dengan peran yang sudah ditentukan oleh masyarakat.
Kehidupan Elizabeth sangat dipengaruhi bukan hanya oleh jenis kelaminnya, tetapi juga oleh kelas sosial, profesinya, dan periode waktu tempat dia hidup. Sebagai seorang wanita di tahun
1960-an, hidupnya didefinisikan oleh lapisan-lapisan penindasan yang saling berpotongan, yang semuanya berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang sangat menantang.
Kita tidak bisa memahami pengalaman diskriminasi atau marginalisasi hanya dengan melihat satu aspek identitas seseorang secara terpisah. Bagi Elizabeth, ini bukan hanya tentang menjadi seorang wanita—ini adalah tentang menjadi seorang wanita yang berusaha masuk ke dunia ilmiah yang didominasi oleh pria, seorang wanita yang tidak menyesuaikan diri dengan peran sosial yang diharapkan darinya, dan seorang wanita yang terus-menerus harus membuktikan kemampuannya melawan norma sosial.
Masalah profesional yang dia hadapi bukan hanya tentang seksisme; ini diperburuk oleh kenyataan bahwa dia juga berasal dari kelas pekerja, yang semakin membatasi kesempatan-kesempatan yang ada untuknya. Dalam satu momen yang menyentuh, Zott merenung tentang bagaimana kemampuannya untuk menembus dunia ilmiah tergantung pada kemampuannya untuk mempertahankan citra tertentu dan mematuhi citra profesionalisme ilmiah yang sangat bias terhadapnya. Ini adalah contoh jelas bagaimana gender dan kelas saling berpotongan untuk menciptakan hambatan ganda bagi wanita seperti Zott.
Elizabeth Zott dan Autisme
Membaca tentang interaksi Zott dengan orang lain, saya berpikir tentang bagaimana dia memandang kehidupan dengan cara-cara yang tampaknya mengabaikan konvensi sosial demi logika dan keterusterangan. Dia canggung dalam setting sosial, memang, tetapi itu yang membuatnya begitu menggemaskan. Zott tidak mengikuti perilaku “feminim” yang diharapkan pada masanya. Dia tidak tertarik pada gosip, basa-basi, atau menyesuaikan diri dengan gambaran wanita sempurna. Dia blak-blakan, rasional, dan memiliki obsesi terhadap logika dan gila pada keteraturan. Salah satu momen yang paling saya rasakan adalah ketika dia berkata, “Dunia ini adalah sistem persamaan. Dan jika kamu tidak memastikan variabelmu berada di tempat yang benar, semuanya akan berantakan.” Mentalitas ini terasa sangat mirip dengan cara banyak orang dalam spektrum autisme berinteraksi dengan dunia. Bagi Zott, segala sesuatu—baik itu ilmu pengetahuan, makanan, atau hubungan—harus masuk akal dengan cara yang sangat tepat dan terstruktur.
Kesulitan Zott dengan interaksi kelompok, caranya berkomunikasi yang sangat lugas, dan fokusnya yang intens pada pekerjaannya, semuanya menunjukkan ciri-ciri yang sering terlihat pada autisme. Ada juga perasaan bahwa dia tidak selalu menyadari bagaimana orang lain memandangnya. Misalnya, ketika dia mendapatkan kesempatan untuk menjadi pembawa acara acara memasak, dia mengintegrasikan kimia dalam memasak, mengajarkan audiens tentang ilmu pengetahuan sambil menyiapkan makanan. Dalam salah satu adegan, dia berkata, “Saya bukan seorang koki. Saya seorang ahli kimia dalam acara memasak.” Ketidakpeduliannya terhadap peran tradisional seorang wanita sebagai koki dan kemampuannya untuk melihat dunia melalui lensa ilmu pengetahuan adalah simbol bagaimana dia menavigasi dunia yang tidak selalu memahaminya.
Penutup
Lessons in Chemistry mengungkapkan ketegangan gender yang sangat kuat di tahun 1960-an, namun jika kita melihatnya dari sudut pandang Indonesia saat ini, kita masih bisa melihat banyak kesamaan dalam tantangan yang dihadapi oleh perempuan, terutama dalam dunia kerja, pendidikan, dan representasi sosial. Meskipun ada kemajuan yang signifikan dalam hal hak-hak perempuan dan kesetaraan gender di Indonesia, banyak dari hambatan yang digambarkan
Dalam novel ini masih relevan hingga sekarang. Seperti Zott, perempuan Indonesia masih berjuang untuk memecahkan batasan yang ditentukan oleh gender dan untuk mencapai ruang yang lebih besar dalam masyarakat dan dunia profesional. Dengan memahami perjuangan Zott, kita dapat lebih menghargai betapa jauh perjalanan yang masih harus ditempuh oleh perempuan, baik di Amerika maupun di Indonesia, untuk mendapatkan kesetaraan yang sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar