Home Ads

Selasa, 30 Desember 2025

Resensi Buku Segala Kekasih Tengah Malam (All The Lovers In The Night), Karya Mieko Kawakami



Judul Buku: Segala Kekasih Tengah Malam (All The Lovers In The Night)
Pengarang: Mieko Kawakami
Penerjemah: Ribeka Ota
Penerbit: KPG
Tahun Terbit: April, 2025
Genre: Fiksi, Sastra Jepang
Jumlah Halaman: 264 halaman
Peresensi: Iffah Hannah

“…sungguh tak ada satu pun buku yang sempurna, kita tetap bermaksud membuat buku yang sempurna kan? Buku yang sempurna, bebas kesalahanan. Barangkali itu pertempuran yang sejak awal jelas pasti kalah, tapi kita tak punya pilihan selain bertempur, kan?” (hal. 22)

Membaca Segala Kekasih Tengah Malam seperti sedang menyelami kesendirian dan melankolia yang begitu akrab. Bagi beberapa orang, barangkali tidak bisa membayangkan hidup dengan seminimal mungkin interaksi bersama orang lain. Tapi, kenyataannya ada orang yang nyaman sendiri, menikmati kesendirian itu tanpa harus bergaul dengan banyak orang (yang sekaligus dituntut untuk bersikap sebagaimana ekspektasi sosial mayoritas masyarakat). Sejujurnya saya sendiri bisa sih membayangkan betapa “normalnya” sendirian seperti itu. Tiduran gelimbang-gelimbung sambil baca buku atau nonton film. Lalu keluar ke café, memesan kopi sambil baca buku sendirian. Berjalan kaki di trotoar sambil mengamati hidup berjalan di sekitar. Meskipun tentu saja, realitanya, hidup tidak bisa seperti itu selamanya.

Adalah Fuyuko Irie, tokoh utama novel ini, berumur pertengahan tiga puluhan, jomblo, introver, dan bekerja sebagai seorang penyelia aksara di sebuah kantor penerbitan. Karena tidak nyaman dengan situasi sosial di kantornya (sebetulnya interaksi sosial secara umum sih), ia akhirnya mengundurkan diri dan memilih menjadi penyelia aksara paruh waktu yang membuat ia semakin jarang berinteraksi dengan orang lain. Hanya sedikit orang yang ada dalam lingkaran hidup sekaligus berinteraksi sosial dengan Fuyuko, seperti Hijiri (editor yang mendelegasikan naskah-naskah untuk dikerjakan oleh Fuyuko), Kyoko (teman kerjanya di kantor penerbitan sebelumnya), Noriko (teman semasa SMA-nya), dan Mitsutsuka (laki-laki yang kemudian ia sukai).

Sebagai orang yang terbiasa dengan kesendirian, bertemu dengan orang kadang membuat Fuyuko mengalami kecemasan sosial. Ada kekhawatiran tentang apa yang seharusnya ia lakukan saat berhadapan dengan orang, apa yang harus dia bicarakan, bagaimana ia harus bereaksi dengan obrolan orang lain dan lain sebagainya. Kekhawatiran-kekhawatiran itulah yang membuat Fuyuko merasa harus meminum alkohol (bir atau sake) sebelum ia keluar untuk berinteraksi dengan orang lain (alcohol dependent). Termasuk ketika bertemu Mitsutsuka, orang yang tidak sengaja ia kenal dan akhirnya rutin bertemu setiap minggu di kedai teh. 

Terlepas dari berjalannya hidup yang kerap kali tidak sesuai dengan ekspektasi, hubungan dengan sesama manusia memang selalu rumit. Begitupun hubungan Fuyuko dengan Hijiri dan hubungannya dengan Mitsusuka. Semua orang memiliki kekhawatiran-kekhawatiran sendiri, prasangka, dugaan-dugaan, dan pandangan-pandangan yang seringkali tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya yang bisa jadi tidak hanya membuat dirinya tidak nyaman tetapi juga membuat orang lain tidak nyaman.

Selain hubungan antar manusia yang rumit, ada banyak isu sosial yang diangkat dalam novel ini seperti isu perempuan: hubungan antar-perempuan yang rumit, ada yang saling menguatkan dan ada pula yang kerap disisipi iri-benci. Kemudian juga tentang perempuan bekerja dan tidak bekerja. Perempuan yang kehilangan agensi setelah berumah tangga dan lemah secara ekonomi. Problematika sebagian besar perempuan menikah di seluruh dunia dengan keterbatasan-keterbatasan dalam membuat pilihan hidup. 

“Tapi, aku berhenti bekerja, kan, setelah menikah dan melahirkan anak pertama. Tidak bisa dibilang aku tidak menyesal  soal itu. Memang, berhenti  dari pekerjaan itu tak masalah, kuanggap bukan pekerjaan yang mesti diteruskan. Kenyataannya, harus ada yang mengurus rumah tangga, maka logisnya aku yang berhenti kerja dan konsentrasi mengurus rumah tangga, itu jalan terbaik, aku yakin begitu waktu itu… memang menyesal pun terlambat, sih, sekarang… tapi, rasanya cukup berat juga tak punya uang yang bisa dipakai sesuka hati.” (Obrolan Noriko pada Fuyuko, hal. 182-183)

Isu ekonomi juga banyak dibicarakan, misalnya isu ekonomi global seputar banjirnya barang-barang impor Tiongkok (kita biasa bilang barang impor China) yang masuk ke Korea dengan harga murah dan nyaris mematikan pasar barang-barang lokal dan secara tidak langsung berimbas pada kehidupan ekonomi masyarakatnya.

Isu kekerasan seksual juga cukup sering dibicarakan, termasuk pengalaman pribadi Fuyuko di masa SMA. Dalam salah satu percakapannya dengan Mitsutsuka, ada bagian dimana mereka menyebutkan bahwa sekolah yang maju adalah sekolah yang memiliki pemahaman dan langkah-langkah pelecehan seksual, penyalahgunaan kekuasaan (relasi kuasa gitu ya maksudnya).

Novel ini mengeksplorasi krisis eksistensial yang dihadapi perempuan muda jaman sekarang di tengah kehidupan urban yang mengalienasi. Di tengah upaya pencarian makna hidup dengan tekanan sosial dan pengalaman masa lalu menyakitkan yang meninggalkan trauma itulah hidup Fuyuko saling berkelindan. Pertanyaan-pertanyaan tentang kehendak bebas, tentang bertanggung jawab atas segala pilihan-pilihan yang dibuat dan sebagainya.

“Pernahkan aku memilih sesuatu dengan kehendakku sendiri dan mewujudkannya?... tapi, tidakkah aku benar-benar selalu melakukan hal-hal yang ada di depan mataku sebaik mungkin.” (hal 215)

Beberapa novel Jepang yang saya baca memang menarik-menarik, termasuk karya-karya Murakami yang saya kenal sejak 2012. Tetapi, kadang di novel Murakami, beberapa tokoh dalam ceritanya ada yang mengobyektifikasi perempuan. Mieko Kawakami ini sama sekali tidak begitu. Ada “suara” perempuan yang “kuat” dalam ceritanya, juga tokoh-tokohnya yang membuat saya tidak sabar untuk membaca buku Mieko Kawakami yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *