Home Ads

Rabu, 09 Januari 2019

Resensi Buku NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia, Solahudin

Judul Buku: NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia 
Penulis: Solahudin
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun: 2011
Genre: Nonfiksi
Jumlah halaman: xviii +294 hlm
Pereview: Nabilah Munsyarihah

Bagi generasi milenial, fenomena jihad di Indonesia seperti barang baru. Apa yang yang paling diingat dari fenomena jihad di Indonesia? Bom Bali? Bom Natal Gereja di Mojokerto yang menewaskan Banser bernama Riyanto? Atau mungkin Ambon dan Poso? Semua itu adalah peristiwa ketika kelompok jihad sudah mengenal Salafisme. Sejatinya, ajaran jihad yang otentik tokoh Indonesia sudah lebih dulu ada dan beroperasi menentang republik sejak lahirnya Indonesia. 

Buku NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia ini menarasikan dengan apik sejarah kelompok-kelompok Jihadi di Indonesia terutama dalam periode 1940-an sampai 2002. Membaca buku ini tidak seperti membaca buku tentang kelompok Islam kanan lainnya yang kebanyakan berisi deskripsi dan analisis yang serasa sepotong-sepotong. Solahudin, penulis buku ini, berhasil membuat sebuah lini masa yang runtut, narasi yang lancar, dan menguraikan pertentangan yang rumit dalam internal kelompok mereka.

Apa itu Salafi? Apa itu Salafi jihadisme? Sebelum istilah Salafi merebak, di Indonesia kelompok ini lebih dulu dikenal dengan sebutan Wahabi. Gerakan ini memiliki semangat pemurnian yaitu kembali pada Alquran dan Sunnah serta menjauhi bid'ah. Tokoh peletak dasar gerakan ini adalah Ibn Taimiyah yang hidup di abad 13. Pemikirannya sangat memengaruhi Muhammad bin Abdul Wahab yang menemukan relevansi dengan kehidupan umat Islam di Abad 17. Dia kemudian bersekutu dengan Muhammad bin Saud untuk mendirikan Daulah Saudiyah yang mendukung gerakan permunian ini, keduanya saling menguntungkan. Sempat kalah dari Turki Usmani, Daulah Saudiyah kembali lahir pada Abad 20.

Wahabi atau Salafi yang berkembang di Saudi ini kemudian memiliki sejumlah tokoh berpengaruh seperti Abdullah bin Baz. Dari berkah minyak, dana menggelontor ke kantong kelompok Salafi untuk memperluas pengaruhnya ke luar Saudi, termasuk Indonesia. Salafi Saudi menemukan jalan jihad ketika Afghanistan dijadikan Medan perang untuk menghadapi Soviet dan Iran yang memiliki pengaruh di sana. Seruan Jihad memerangi kaum kafir di Afghanistan hukumnya fardlu ain bagi muslim setempat dan fardlu kifayah bagi muslim di luar negara itu. 

Lahirnya Salafi Jihadisme

Petanda lahirnya Salafi Jihadisme yang paling kuat adalah lahirnya AlQaeda pimpinan Usama bin Laden. Meskipun hal ini juga dipantik oleh berbagai peristiwa dan inspirasi dari kelompok lain seperti kelompok Jihad di Mesir. AlQaeda lahir setelah kemenangan umat Islam di Afghanistan atas Soviet dan sekutunya. Meski pada awalnya perang Afghanistan didukung oleh Amerika, tapi kelompok Mujahidin banyak yang tidak suka koperasi dengan Amerika. Apalagi saat Irak menginvasi Kuwait yang membuat Arab Saudi kuatir invasi itu akan sampai ke negerinya. Saudi pun menerima bantuan militer AS seraya menolak proposal Bin Laden untuk menggunakan tentara Mujahidin yang ia klaim puluhan hingga seratus ribu jumlahnya. Bin Laden dibikin sakit hati. Ia menyerukan bahwa Saudi adalah rezim murtad dan perang melawan AS telah dicetuskan. Tapi kemudian dengan berbagai pertimbangan, Bin Laden prioritas untuk memerangi Amerika Serikat. 

Perbedaan signifikan antara Salafi dan Salafi Jihadi adalah dalam sikap takfir atau mengafirkan. Karena melabel kafir berarti membawa konsekuensi hukum yaitu boleh memerangi. Jika Salafi tidak mudah mentakfir, Salafi Jihadi menerapkan standar yang sangat minimal untuk label kafir. Orang yang membantu orang kafir dilabeli kafir. Dalam perang, boleh membunuh orang sipil, bahkan boleh menarget anak dan perempuan di komunitas musuh jika musuh melakukan hal serupa terhadap komunitas mereka. 

Bin Laden menghidupkan doktrin Irhabiyah atau terorisme yang diformulasikan oleh pendahulunya di Afghanistan, tapi tak pernah benar-benar diimplementasikan. Ini adalah standar yang tidak disetujui oleh kelompok Salafi yang membuat mereka menyebut Salafi Jihadi sebagai Khawarij gaya baru. 

Negara Islam Indonesia mirip Salafi Jihadi

Jihad di masa pecahnya revolusi Indonesia tidak dimonopoli oleh kelompok tertentu. Bahkan Nahdlatul Ulama menyerukan Resolusi Jihad untuk mengusir Sekutu. Tetapi saat seluruh kelompok Islam memasuki gelanggang politik praktis dalam memperjuangkan nilai Islam dalam negara pasca Indonesia merdeka, Kartosuwirjo membentuk gerakan militer bawah tanah untuk mendirikan negara Islam. 

Kartosuwirjo pernah duduk di Partai Syarikat Islam lalu dikeluarkan. Ia bukan dari kalangan agamawan. Ia mempelajari sirah Nabi dan mengaguminya sebagai laku yang harus ditiru. Ia memprolamasikan Darul Islam/Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1948. Mereka yang diperangi adalah orang bughot yang menolak tunduk pada DI, orang munafik yang pro NII tapi juga pro RI, orang fasik yang tahu hukum Islam tapi tak menjalankannya, dan orang yang membantu musuh. Sikap takfir Kartosuwirjo menjadi jelas ketika ia menyerang pesantren guru agamanya, Kiai Yusuf, tetapi gagal membunuhnya. Gurunya pun dianggap kafir karena menentang DI dan boleh diperangi. Yang berbeda dari semangat Salafi puritan, Kartosuwirjo tetap menjalankan laku mistis seperti mengumpulkan keris Ki Dongkol dan Ki Rompang.

DI beroperasi di tanah Priangan yang dibagi menjadi tiga wilayah untuk menegaskan mana Darul Islam dan mana Darul Harb. Pada 1950-an, DI Kartosuwirjo mendapat simpati dari daerah lain yang memunculkan pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakkar dan Aceh pimpinan Daud Beureuh. Operasi Militer diluncurkan dengan serius oleh pemerintah Indonesia. Penumpasan berjalan alot dengan jatuhnya korban dari kedua pihak. Teror DI makin membuat rakyat tak bersimpati dengan gerakan ini. Selain itu, dana yang mereka miliki juga sangat terbatas yaitu 2,5 persen dari penghasilan rakyat DI dan ghanimah. Karena belum mencukupi, lantas DI melanggar prinsip gerilya yang berbaur dengan masyarakat yaitu melakukan perampasan di desa-desa dan penjarahan di kota.

Setelah berbagai strategi represif hingga isolasi dilakukan oleh tentara RI, pasukan DI semakin terpojok dan tidak bisa mendapatkan pasukan logistik. Mereka terjebak di gunung-gunung dan tidak bisa terhubung satu sama lain. Beberapa tokoh mulai menyerahkan diri. Pada 1962, sebelum ditangkap, Kartosuwirjo menyatakan pada pengikutnya bahwa DI akan memasuki fase Hudaibiyah yaitu gencatan senjata, merujuk pada perjanjian yang dilakukan Nabi Muhammad dengan penguasa Makkah. Kartosuwirjo pun tertangkap, bersama KODAM Siliwangi ia membuat seruan agar seluruh pasukan menyerah dan meletakkan senjata. Hampir seluruh pengikut DI mendapatkan amnesti. Tapi Kartosuwirjo selaku imam DI dieksekusi mati pada September 1962 di Kepulauan Seribu. 

Pertemuan DI dan Islam Modernis 

Setelah mencoba bangkit dan melalui hubungan benci-mesra dengan pemerintah RI, generasi yang berjuang bersama Kartosuwirjo pun diciduk tentara karena upaya kebangkitan DI yang disebut Komando Jihad pada dekade 70an. Karena generasi tua DI sudah banyak yang dipenjara, Aceng Kurnia sebagai generasi lama menjalankan strategi perekrutan terutama di kampus-kampus umum. Sentimen Komunisme dan Sentimen Kristen pun digunakan sebagai penarik minat dan berhasil mengajak orang-orang muda kaum Modernis yaitu dari Muhammadiyah, DDII, dan lainnya untuk bergabung. Di antara mereka ada Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir yang kemudian hari mencopot Adag Djaelani (generasi tua) sebagai imam, mengambil alih kepemimpinan dan memindahkan basis dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. 

Di tangan  Sungkar dan Baasyir ini lah ajaran DI bertemu dengan ajaran Salafi. DI menjadi sebuah gerakan baru yang hampir lepas sepenuhnya dari orang-orang yang pernah naik gunung bersama Kartosuwirjo. Terinspirasi revolusi Iran, kelompok DI ingin melakukan revolusi di Indonesia. Mereka merencanakan pembunuhan Soeharto yang kemudian akan disusul Apel Akbar di Jakarta untuk mengawal pemerintahan yang baru. Tapi karena keraguan dan ketiadaan tenaga ahli yang mumpuni dalam persenjataan (roket dan bom), upaya pembunuhan pun gagal, berikut Apel Akbar. Revolusi gagal dilaksanakan. Tetapi kemudian ada persekutuan yang 'aneh' (jika dinilai sekarang) antara sel DI di Malang yang disebut LPSK dengan kelompok Syiah Malang yang pernah belajar merakit bom di Iran. Sel ini kemudian yang justru berhasil melancarkan aksi bom Gereja Natal di Malang, Bom Borobudur, dan Bom Bali yang meledak di jalan. Peristiwa-peristiwa ini cukup mengguncang Indonesia pada dekade 80an.

Di sisi lain, Abdullah Sungkar yang lari ke Malaysia kemudian menemukan jalan untuk memberangkatkan kader DI ke Afghanistan untuk pelatihan militer. Karena terjadi friksi dalam tubuh DI, Sungkar lalu keluar dari DI dan mendirikan Jamaah Islamiyah bersama Ba'asyir. Sepulang dari Afghanistan, mereka tidak hanya terlatih berperang, tapi juga ideologisasi Salafi makin merasuk dan dasar teologis Jihad makin mengeras. Hasilnya adalah berbagai percobaan bom dan berujung pada peristiwa Bom Bali oleh kelompok Hambali. Peristiwa ini nyata merupakan implementasi dari fatwa Bin Laden agar melaksanakan perlawanan terhadap Amerika terutama pasca WTC 9/11. Ini membuat halauan jihad JI tidak hanya menyasar musuh dekat yakni pemerintah Indonesia tetapi juga musuh jauh yaitu Amerika

*
Meski buku ini bukan buku baru dan periode studi kasus hanya sampai awal 2000an, tapi buku ini merupakan salah satu buku dari sedikit buku yang representatif menjelaskan berkembangnya gerakan jihad di Indonesia. Karena narasinya sangat rapat dan detail, melewatkan sedikit saja halaman bisa melewatkan beberapa peristiwa yang memengaruhi peristiwa lainnya. Kekuatan buku ini terletak pada narasi yang utuh dan data yang kuat. Pembaca disodori sebuah kisah panjang tanpa terasa ada tendensi penghakiman. 

Dari cerita panjang ini kita bisa meraba dari periode mana asalnya sentimen antiKomunis, antiKristen, antibid'ah, takfir dan tindakan kekerasan atas nama jihad dimulai. Semua itu berbaur berkat pertemuan DI dengan sejumlah kaum Modernis seperti DDII, Muhammadiyah, Masyumi, dan lainnya pada dekade 70-80. Ditambah dengan pengaruh dari Timur Tengah yang mendirikan lembaga di Jakarta untuk memperluas pengaruh Salafi. Cerita-cerita seperti tali-temani yang tiada habisnya, saat ditekan bahkan dihabisi, selalu ada sel yang bisa muncul lagi kemudian hari. 

Yang menarik bahwa sejak awal kelompok jihad ini pasca Kartosuwirjo berkali-kali terganjal friksi internal. Pecahnya DI kemudian munculnya JI merupakan salah satu contoh friksi besar. Selain itu banyak perpecahan bahkan dalam tubuh JI setelah peristiwa Bom Bali. Friksi semacam ini juga biasa terjadi di tubuh mujahidin Timur Tengah seperti sekarang AlQaeda juga telah pecah menjadi beberapa kelompok yang berbeda, salah satu yang paling besar adalah ISIS. 

Pergolakan politik di era Orde Baru yang mencanangkan Pancasila sebagai ideologi tunggal dan berkuasanya orang Katolik di sekitar Soeharto yang membuat kader jihad ini makin gerah. Sentimen dan kebencian ini terus diwariskan hingga saat ini. Sel jihad bekerja aktif sejak 2000 lalu diburu dan dibabat oleh tentara. Sejumlah peristiwa bom lonewolf juga pengaruh dari fatwa ISIS. 

Sumbu politik dalam negeri dan pengaruh perang Timur Tengah sangat memeranguhi gerakan Salafi Jihadi. Kadang tiarap untuk menunggu saat yang tepat sembari mengumpulkan kekuatan melakukan aksi kembali. [Nabilah Munsyarihah]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *