Home Ads

Jumat, 31 Januari 2020

Resensi Buku Tuhan yang Bersembunyi, Hairus Salim


Judul: Tuhan yang Bersembunyi: Renungan dari Balik Aksara
Penulis: Hairus Salim
Penebit: Mojok
Tahun terbit: 2019
Peresensi: Nur Hayati Aida

Membaca cerpen barangkali hanya membutuhkan waktu tak lebih dari seperempat jam, tetapi bekasnya bisa bertalu-talu untuk sekian lama. 

Begitu kira-kira kalimat yang terngiang di kepala saat membaca kata pengantar buku yang ditulis oleh Mas Hairus Salim. Dan tentu saja saya sepakat mengenai hal tersebut.

Buku ini adalah buku pertama, sepanjang saya bisa mengingat, yang membincang tentang buku atau cerita pendek. Sebuah buku yang berbicara tentang buku. Betapa pun demikian, buku ini, bagi saya, tidak sekadar tentang kumpulan 'review' mengenai buku. Buku ini dengan sangat cerdik mengambil sisi-sisi paling ruhani atau spiritual dari sebuah buku (novel)  atau cerita pendek.

Pada lembar-lembar pertama buku ini, saya sering mendapati sebuah 'pencarian' yang khas. Tentang menemukan diri sendiri untuk (bisa) pulang pada Tuhan. Pencarian, kata Mas Hairus Salim, bukanlah pergi ke luar, berziarah secara fisik ke berbagai tempat, dan tidak juga menemukan sesuatu, karena yang dicari sebenarnya ada di dalam diri sendiri.

Pada satu kesempatan saat berbicara tentang Sang Alkemis yang dianggit oleh Paulo Coelho, buku ini, dengan meminjam puisi Rumi, lagi-lagi mengatakan bahwa pencarian sejati sejatinya tak pernah jauh dari diri sendiri. Begini bunyinya: Sekian lama aku berteriak memanggil nama-Mu sambil terus menerus mengetuk pintu rumah-Mu. Ketika pintu itu terbuka, aku pun terhenyak dan mulai menyadari sesungguhnya selama ini aku telah mengetuk pintu rumah dalam rumahku sendiri.

Saya sendiri selalu percaya sebuah buku atau tulisan akan selalu menemukan (memilih?) pembacanya sendiri. Meski tentu saja buku itu bisa dibaca oleh banyak orang, tetapi yakinlah bahwa pengalaman ruhani itu takkan menghampiri dengan rasa yang sama pada tiap pembacanya.

Bagian paling membekas dalam buku ini barangkali adalah momen saat penulis menyelipkan sebuah kalimat: eh ada kutipan menarik di halaman 204 dan 88 lho!, di halaman depan selepas sampul. Sekonyong-konyong saya langsung membuka halaman yang dimaksud. Dan apa yang terjadi? Ternyata di sana Mas Hairus Salim bercerita tentang bagaimana dulu saat di pesantren bisa mengakses buku. Meski pesantren melarang membaca buku selain buku daras, tapi para santri tetap saja tak kehabisan akal untuk mendapatkan buku-buku yang diharapkan dengan menyewanya. Satu buku yang dibicarakan di sini adalah buku harian yang ditulis oleh Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam. Membaca bagian itu pikiran saya lalu melayang ke masa-masa sekolah di Kajen. Saya juga membaca catatan harian Wahib saat masih di pesantren, dan setelah itu membekasnya tak lekang oleh waktu. Kalau boleh dikatakan, catatan harian Wahib adalah salah satu buku terbaik yang pernah saya baca.

Anda takkan pernah menyesal menukar lembar rupiah dengan buku ini. Wajib baca!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *