Home Ads

Jumat, 19 Juni 2020

Resensi Buku Burung-Burung Manyar, Y. B. Mangunwijaya


Judul Buku: Burung-Burung Manyar
Pengarang: Y. B. Mangunwijaya
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit: 2014
Jumlah Halaman: 406
Genre: Roman
Peresensi: Iffah Hannah

”I can tell by your eyes that you've probably been cryin' forever
And the stars in the sky don't mean nothin' to you, they're a mirror
I don't want to talk about it, how you broke my heart…”

Ketika membuka laptop malam itu dan lagu Rod Stewart mengalun dari playlist Spotify saya, saya tercenung sebentar. Merasakan pedih yang berkecamuk. Dan tiba-tiba teringat dengan sebuah novel yang saya baca ulang beberapa waktu lalu. 

”Burung-Burung Manyar”. Kisah tentang Setadewa (Teto) dan Larasati (Atik).

Novel ini diterbitkan pertama kali pada 1981 oleh penerbit Djambatan. Versi yang saya baca dan miliki adalah versi terbitan ulang penerbit Buku Kompas. Novel setebal 406 halaman itu saya baca pertama kali bertahun lalu dan menjadi salah satu novel yang suka saya baca ulang kadang-kadang, meskipun tahu kalau setiap membaca ulang novel ini, mata membasah dan hati mengumpat tertahan. Narasi dalam novel ini begitu detail dan kuat, mampu membuat pembaca memahami rasa sakit, kemarahan, kesombongan, bahkan keputusasaan Teto. Juga frustasi yang dirasakan Atik. 

“Burung-Burung Manyar” terdiri dari tiga bagian: Bagian I (1934-1944) yang kental sekali dengan konteks masa penjajahan, Bagian II (1945-1950) yang masih terkait dengan masa penjajahan meskipun Indonesia sudah merdeka, dan Bagian III (1968-1978). Di bagian prolog (atau yang disebut Romo Mangun sebagai Prawayang di novelnya), dinarasikan ulang bagaimana Baladewa memutuskan untuk berdiri di sisi Kurawa menjelang perang Baratayuda. Tentu bukan karena Baladewa lebih mencintai Kurawa, tetapi lebih karena kesetiannya kepada istri dan ayah mertuanya yang merasa harus berpihak pada Kurawa supaya Astina tidak pecah. Meskipun begitu, dalam hati terdalam Baladewa, cintanya pada Pandawa tidak pernah berkurang sedikitpun.

Bagian prolog itu sangat memberikan konteks yang bisa membuat pembaca menjadi bisa memahami keputusan-keputusan Teto. Ia dilahirkan dari ayah yang masih memiliki darah ningrat keraton Surakarta dan ibu keturunan Indo. Ia menjadi anak kolong yang tumbuh besar dengan kebencian kepada Jepang, yang telah memisahkannya dari ayah dan ibunya. Sehingga ketika ia kemudian memilih untuk menjadi tentara KNIL, keputusannya itu salah satunya didasari oleh keinginannya untuk membalas dendam pada mereka yang paling bertanggung jawab merenggut ayah dan ibu dari sisinya. Pilihannya itu membuat Teto terpaksa harus berhadap-hadapan dengan Atik, perempuan yang selalu dicintainya sejak kecil, namun berada di pihak Republik, tidak saja sebagai sekretaris Sutan Sjahrir tapi sekaligus sebagai orang yang turut memperjuangkan kemerdekaan.

Ide kemerdekaan itu begitu membuat Teto muak. Menurutnya, “Inilah kesalahan logika mereka: menyangka seolah negara sama dengan rakyat. Jika negara merdeka, orang mengira rakyat otomatis merdeka juga.” (Hal. 70)

Tetapi sebetulnya, Teto sendiri sadar bahwa ia tidak berada di pihak yang benar.  “Aku sudah lama rukun dengan gagasan bahwa serdadu-serdadu bawahanku yang inlander-inlander itu memang segerombolan sampah sebetulnya, akan tetapi apa dosanya mencari nafkah? Aku bukan soldadu, aku petualang dan pendendam, dan kalau aku mati dan kalah, aku masuk neraka.” (Hal. 150)

Bagi Atik, berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan Teto juga membuat batinnya pedih. Meskipun tahu Teto ada di pihak Belanda, rasa cinta Atik pada Teto tak pernah luntur sedikitpun.

Ketika bertahun kemudian, saat Indonesia sudah lebih stabil, Teto kembali bertemu dengan Atik. Atik yang sudah berkeluarga, dengan tiga anak yang lucu-lucu. Dengan canggung, mereka bertemu. Sebetulnya Teto yang jauh lebih canggung. Atik sendiri menunjukkan rasa begitu gembira karena bertemu lagi dengan laki-laki yang sangat ia cintai. Apakah cinta mereka berakhir? Tidak. Tidak ada satu detikpun berlalu tanpa cinta pada satu sama lain mengisi hati mereka masing-masing. Tapi, apakah takdir mempersatukan mereka? Tentu tidak. Takdir selalu mempunyai misteri-misterinya sendiri. Tetapi bagi Teto, itu tidak lagi penting. Ia sudah jauh lebih menerima. Menerima takdirnya sendiri.   

Meskipun saya selalu berakhir sedih setiap selesai membaca ulang novel ini, rasa-rasanya sampai kapanpun saya tidak akan pernah bosan dengan “Burung-Burung Manyar”. Beberapa kalimat-kalimat di novel itu, bagi saya, justru masih sangat relevan dengan kondisi kita saat ini. Misalnya:

“Dia berkata bahwa penduduk di sini kejam sekali. Wajah serba senyum dan sopan santunnya luwes, tetapi terhadap sesama bangsa, keji.” (hal. 199)
“Maka kupikir, tanah air adalah di mana tidak ada kekejaman antara orang dengan orang.” (hal. 200)

Jika melihat kondisi negara seperti saat ini: konflik di Papua, konflik agraria, penangkapan orang dengan UU ITE dan membaca ulang kutipan Romo Mangun dalam novelnya, kadang saya jadi bertanya apakah tanah air kita sudah betul-betul merdeka?

1 komentar:

  1. izin mengutip untuk tugas sekolah ya, kak. saya cantumkan sumbernya.

    BalasHapus

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *