Home Ads

Minggu, 31 Mei 2020

Resensi Buku Orang-Orang Proyek, Ahmad Thohari


Judul Buku: Orang-Orang Proyek
Penulis: Ahmad Thohari 
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku: 253 halaman
Genre: Fiksi
Peresensi: Najhaty Sharma

Orang-Orang Proyek adalah salah satu novel Bapak Ahmad Thohari, sastrawan kenamaan yang telah masyhur sejak jaman ibu saya muda dulu. Karya beliau yang paling monumental adalah Ronggeng Dukuh Paruk, sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam layar lebar berjudul 'Sang Penari'. 

Bagi saya, membaca tulisan Ahmad Thohari rasanya ada kemiripan antara gaya bahasa Bapak Ahmad thohari dengan KH.Mustofa Bisri. (Maaf tanpa mengurangi rasa hormat pada kedua sastrawan ini) 

Mirip karena keduanya dekat dengan budaya jawa yang Islam Nusantara. Juga memiliki  proses kepenulisan yang  tidak hanya mengandalkan imajinasi, tapi juga perenungan kehidupan yang diendap lama dalam bingkai kebijaksanaan dan cara pandang yang jernih dan utuh. 

Dalam Novel OOP ini, Ahmad Thohari menceritakan maraknya kebobrokan oknum yang menunaikan proyek proyek yang terjadi di Indonesia pada 1991 dan sebelumya. Saat itu Partai Golongan Lestari menang menguasai negeri ini (itu adalah nama partai samaran yang beliau tulis dalam novel). Proyek-proyek tidak dibangun sesuai dengan ilmu arsitektur yang benar sehingga budget yang seharusnya bisa untuk membangun dua jembatan yang kokoh sekaligus, hanya dapat mewujudkan satu jembatan dengan mutu yang rendah. 

Saya mulai dengan menguraikan tokoh utama, yaitu: insinyur Kabul. Ia seorang insinyur teknik sipil yang bertugas mengawal proyek jembatan di kali Cibawor. Kabul ini lambat laun mulai memendam kecewa dengan pekerjaan yang ia jalankan dilapangan. Ketika jiwa bersihnya melihat laku korup yang dilakukan oleh banyak elemen, mulai dari masyarakat di sekitar proyek yang menyuap tukang batu, tukang las dan pekerja lainnya, hingga kejahatan serupa juga dilakukan atasannya. Akibatnya, pengeluaran anggaran yang tidak semestinya pasti berimbas pada mutu bangunan yang tengah digarap. 

Di awal cerita, Ahmad Thohari memulai dengan menggambarkan bagaimana keadaan sungai Cibawor baik saat banjir atau kemarau. Lalu muncul lelaki tua bernama Pak Tarya, seorang pensiuan PLN yang gemar memancing di sungai Cibawor, tanpa sengaja bertemu dengan Insinyur Kabul di siang hari. Yang nantinya, melalui komunikasi antara Kabul dan Pak Tarya dalam sesi memancing, kita langsung disuguhkan masalah masalah pelik pada jaman itu. Melalui komunikasi-komunikasi itu juga, tanpa sadar kita mendapatkan banyak wejangan yang bijak melalui pemikiran masing masing tokoh. 

Tidak hanya Pak Tarya saja, nantinya akan ada teman lama Kabul yang kebetulan menjadi Kepala desa dekat jembatan Cibawor. Ia teman kampusnya dulu yang sesama aktivis. Jiwa idealismenya juga memberontak pada kebijakan gila pada jaman itu, persis dengan pemikiran Kabul. 

Jujur saya kesulitan menggambarkan bagaimana hebatnya Ahmad Thohari menghidupkan suasana dalam cerita itu menjadi sangat nyata. 

Karena alur alur berat dan tidak banyak diminati umumnya orang ini bisa menjadi asyik  dan sangat hidup. Sehingga saya menyukai setiap bagiannya. Seolah saya melebur masuk dalam suasana proyek pembangunan jembatan Cibawor itu. Saya dapat merasakan bagaimana getirnya Kabul memendam kecewa pada atasannya Dalkijo karena orang itu juga sama dengan para bedebah politik diluar sana yang tanpa dosa menggunakan uang rakyat seenak perut dengan mind setnya yang hedonisme dan "tobat melarat" itu. Hingga pernah suatu kali keduanya beradu argumen dengan sengit.

Saking berhasilnya penulis menenggelamkan saya, saya dapat membayangkan tokoh tokoh para kuli bangunan dan penjual kuliner di sekitar proyek jembatan Cibawor beserta masyarakat dan pemimpin desanya dengan gamblang. Saya dapat merasakan burung bercitcit cuit di sepanjang jalan dekat kali cibawor juga semilir angin yang menerpa pepohonan di sekitarnya. Membayangkan jangkrik dan kodok berlomba nyanyi di belakang rumah kontrakan Insinyur Kabul. Juga kadal yang menelusup masuk ke dalam belarak yang berserakan di sekitar Sungai Cibawor. 

Ah entah kenapa benar-benar masuk sampai ikut degdegan kala dihadirkan tokoh satu-satunya mandor perempuan di proyek itu bernama Wati yang diam-diam menaruh hati pada Insinyur Kabul. Karena kisah keduanya sangat orisinil dan tidak lebay. 

Banyak sekali karakter unik yang berhasil 'dihidupkan' tanpa serasa 'kebanyakan tokoh' di dalam OOP ini. Diantaranya, Tente Ana sang penyanyi banci yang siap menghibur para kuli, juga provokator kelas teri macam Wircumplung. Lalu Kang Martasatang pemilik rumah di tepi sungai yang lugu, Bapaknya Sawin yang sempat di duga menjadi korban tumbal pembangunan jembatan, padahal dia menghilang tiga hari karena mengejar cinta pembantunya Mak Sumeh pemilik warteg dekat pembangunan proyek. 

Namun tidak keluar dari inti cerita, poinnya menggambarkan orang orang jujur yang celaka macam Kabul, Pak Tarya, dan Basar Sang Kepala Desa teman sekampus Kabul itu dapat berdiri tegak dengan pendiriannya yang mulia ditengah tengah jiwa jiwa pragmatis. Dan keteguhan hati mereka akan kembali diuji saat persiapan acara HUT partai Golongan Lestari Menang. Pasalnya, acara tahunan tersebut pasti akan menyedot habis dana desa dan dana proyek seperti yang sudah sudah. 

Lalu klimaksnya pun berada di akhir cerita, Kabul dihadapkan pada pilihan yang pelik. Apakah ia akan melanjutkan proyek yang dianggapnya mengkhianati rakyat itu atau berhenti dari proyek untuk memenuhi hati nuraninya walaupun ia harus mengorbankan masa depanya. 

Karena di era order baru, kita tahu, siapa yang berani memberontak, sang pemberontak akan kesusahan mendapat pekerjaan di tempat lain atau bahkan tidak bisa sama sekali. 

Begitulah kurang lebih alur singkatnya dalam novel OOP. Yang saya suka, petuah petuah bijak di dalamnya selalu disampaikan dengan halus jauh dari penyampaian mabuk agama. Terbukti dari sikap Kabul saat berangkat shalat jumat bersama rekannya dan melihat kuli bangunan yang lain tidak mau diajak shalat. Dia tidak serta merta membenci para kuli itu dan justru mendoakan mereka dan juga menganalisis latar belakang mereka yang memang menjadi korban keadaan yakni remaja tidak berpendidikan dan tidak terpelajar harus menanggung perihnya hidup bekerja keras sebelum waktunya. 

Tapi, meskipun saya mengagumi alur dan tulisan Bapak Ahmad Thohari ini, ada satu bagian yang saya tidak sepenuhnya sependapat.

Pada salah satu dialog antara Kabul, Bashar dan Pak Tarya tentang karakater manusia dijaman ini, ada narasi gamblang yang seolah olah Insinyur Kabul mengesampingkan Syariat dan lebih mengutamakan Hakikat.  Padahal, jika kita ingat ingat lagi,  syariat dan hakikat itu saling beriringan saling membutuhkan. Tentu laku seseorang sangat berkaitan dengan proses panjangnya untuk menjadi lebih baik. Meski kita tidak menampik adanya seseorang yang dapat mencapai spiritual yang tinggi tanpa melalui syariat pada umumnya. 

Tapi jika melihat runutan cerita dan karakter Kabul yang disuguhkan, saya yakin, mungkin Pak Ahmad Thhari yang terhormat tidak bertujuan demikian. Hanya saja, saya sebagai pembaca sempat menangkapnya demikian dan terselip khawatir jika disalahmaknai oleh segelintir pembaca.

Oke, mungkin resensi saya sudah terlalu panjang. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan dari teman yang bisa memahami novel ini jauh lebih baik. Sebaiknya teman teman yang belum baca, langsung melebur di dalam novel ORANG ORANG PROYEK ini dan resapi pemikiran yang disuguhkan Kabul dan sahabat sahabatnya. 

Selamat membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *