Home Ads

Rabu, 15 Juli 2020

Resensi Buku Karnak Café, Najib Mahfudz

Judul Buku: Karnak Café 
Pengarang: Najib Mahfudz
Penerbit: Alvabet Sastra
Tahun terbit: 2008
Jumlah Halaman: 164
Genre: Fiksi
Nama Peresensi : Farah Firyal

Buku ini ditulis oleh Najib Mahfudz, seorang penulis asal Mesir kelahiran 1911. Teks asli buku ini berbahasa Arab berjudul Alkarnak dan diterbitkan pada tahun 1976. Cerita dalam buku ini berlatar belakang kondisi Mesir tahun 1950-an. Karnak Café berkisah tentang kondisi Mesir saat mengalami masa-masa tragis setelah kekalahan dalam perang melawan Israel. Berlatar belakang sebuah café bernama Karnak, buku ini diisi oleh obrolan sekelompok pemuda pemudi yang terkumpul sebagai teman ngopi di kafe tersebut. Tokoh utama dalam buku ini adalah “aku” yang digambarkan  sebagai seorang laki-laki. Ada juga seorang penari cantik pemilik kafe bernama Qurunfula. Qurunfula digambarkan sebagai seorang penari yang pesonanya tak tertandingi. Usianya sudah tak lagi muda, tapi kecantikannya tak usah ditanya. Banyak pelanggan kafe yang datang setiap hari hanya untuk menatap Qurunfula dari dekat. Dan lama. Kisah berawal saat tokoh “aku” dan Qurunfula merasa kehilangan 3 orang teman yang setiap harinya selalu datang mengunjungi kafe. 3 orang itu adalah Zainab Diyab, Ismail al Syekh, dan Hilmi Hamada.

Mereka bertiga tiba-tiba tak lagi mengunjungi kafe dalam waktu yang lumayan lama. Saat itu Kairo sedang berada dalam kondisi krisis pasca kekalahan perang. Di tahun-tahun itu juga masyarakat sedang dihadapkan dengan era pasca revolusi. Pemerintah tak hentinya bersitegang dengan oposisi. Keadaan sosial berjalan dengan penuh rasa curiga, saling tuduh, dan sangat mencekam. Selain kata penutup dan biografi penulis, sebelumnya ada 4 bagian dalam daftar isi buku ini. Bagian tersebut adalah Qurunfula, Ismail al Syekh, Zainab Diyab dan Khalid Shafwan. Karena memang penulis membuat obrolan empat mata antara tokoh “aku” dengan nama-nama yang disebutkan tadi di setiap bagiannya. 

Di bagian kedua, saat tokoh “aku” memiliki kesempatan untuk mengobrol berdua bersama Ismail al syekh yang sudah terlihat kembali mengunjungi kafe setelah beberapa saat menghilang, terkuak fakta bahwa ternyata Ismail dan kedua temannya selama ini telah diculik oleh mata-mata pemerintah. Ismail dituduh sebagai bagian dari Ikhwanul Muslimin. Ia dianggap menentang revolusi. Kedua temannya ditangkap hanya karena memiliki hubungan dengan Ismail. Setelah berhasil membuktikan bahwa mereka bertiga adalah anak revolusi, mereka dibebaskan.

Bagian selanjutnya dari buku ini berisi obrolan tokoh “aku” bersama tokoh-tokoh lainnya. Hanya Hilmi Hamada yang tidak dapat bagian dalam buku ini. Dalam karyanya ini, Mahfudz menyatakan secara rinci segala hal yang berjalan secara tidak  benar dalam masyarakat Mesir sepanjang 1960-an, misalnya keadaan saling curiga, mata-mata polisi rahasia hadir di mana-mana, melakukan kontrol sebisa mungkin terhadap pers, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Mahfudz bercerita sangat detail. Karnak café membangkitkan memori perang yang menyakitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *