Home Ads

Rabu, 15 Juli 2020

Resensi Buku Prahara Suriah, Dina Y Sulaeman

Membongkar persekongkolan negara-negara di dunia.


Judul Buku: Prahara Suriah
Pengarang: Dina Y Sulaeman
Penerbit: Pustaka Iman
Tahun Terbit: 2013
Cetakan ke: 1
Jumlah Halaman: 238
Genre: Non Fiksi
Nama Peresensi: Aida Mudjib

"Situasi Suriah telah membagi dua dunia. Ini adalah konflik internal yang membawa konsekuensi global" (Evgeniy Proddubniy dkk, hal 211)

Sejak tahun 2011 terjadi perang di Suriah, negara yang dahulunya merupakan akar peradaban dunia. Negeri kuno di mana banyak sekali nabi dan rasul diutus. Perang saudara terjadi konon karena pemimpin Suriah memaksakan stabilitas pada kelompok-kelompok agama dan etnis di negara tersebut. Para jihadis berjuang mengangkat senjata melawan presiden al-Assad. Sejak itu Suriah menghasilkan salah satu migrasi paksa terbesar sejak perang dunia ke-2. Perang telah mengorbankan sekitar lima juta orang dan membuat mereka terusir dari tempat tinggalnya. Penduduk yang tersisa diperkirakan enam puluh persen hidup dalam kemiskinan yang ekstrem dengan perekonomian yang menyusut dan kondisi yang memprihatinkan dibanding sebelum perang. 

Sebenarnya apa yang terjadi di Suriah? Benarkah Asad yang selama ini anti Israel menjadi musuh mereka yang juga menginginkan kemerdekaan Palestina? Perang Suriah ini perang politik atau perang antar mazhab? Benarkah di sana terjadi kekejaman luar biasa sehingga memerlukan jihadis dunia?

Buku prahara Suriah ini ditulis oleh Dina Sulaeman, seorang dosen ilmu hubungan internasional universitas Padjajaran Bandung. Buku ini dilengkapi dengan foto-foto, infografis, dan sumber-sumber berita yang bisa ditelusuri lebih lanjut oleh pembacanya sehingga cukup kredibel. Bahasa yang digunakan juga ringan, jadi pembaca yang bukan peminat geopolitik juga akan dengan mudah mengikuti narasinya.

Dalam Buku Prahara Suriah ini, Dina memaparkan satu per satu faktor konflik Suriah tersebut dengan ringan, tidak berat seperti pemaparan dalam dunia akademis. Penulis dalam pengantarnya mengatakan bahwa dia berharap buku ini bisa membuat bangsa Indonesia mengambil hikmah dan pelajaran dari konflik Suriah. Indonesia adalah negeri sangat kaya sumber daya alam dan pada saat yang sama, memiliki banyak sekali etnis agama dan mazhab sehingga potensi konflik di Indonesia sangat besar. Terutama banyak pihak mengambil keuntungan ketika bangsa Indonesia disibukkan oleh konflik internal.

Buku ini terbagi menjadi 8 bab yang mencakup tentang keadaan Suriah, tragedi-tragedi yang ada, seruan jihad, pihak-pihak yang bermain dalam konflik Suriah, khilafah, peran Israel dan pendapat-pendapat dari internal pemerintahan Suriah sendiri. Bab terakhir ditujukan untuk membandingkan antara Suriah dan Indonesia juga tentang syahidnya Syekh Said Ramadhan Al Buthy.

Pada awal pemaparan bukunya, Dina menerangkan tentang kondisi pada saat buku ini ditulis yakni tahun 2013, saat itu "bau mesiu memenuhi udara. gumpalan asap, besi-besi yang meleleh nama jajanan darah, ceceran darah, teriakan histeris dan raungan sirene ambulans maupun pemadam kebakaran memenuhi udara."

Berita oleh media adalah sebagai berikut "Sejak Maret 2011 rakyat Suriah berdemonstrasi menuntut mundurnya rezim al-Assad yang sudah terlalu lama berkuasa. Dimulai sejak Hafez al-Assad tahun 1972, lalu digantikan anaknya Bashar al-Assad sejak tahun 2000 hingga kini. Gerakan rakyat Suriah ini merupakan bagian dari gelombang musim semi Arab yang mendambakan demokratisasi di negara-negara Arab. rezim Assad menghadapi aksi damai rakyatnya secara brutal. rezim Assad yang beraliran Syiah Alawi tanpa kenal ampun membunuhi para demonstran yang umumnya berasal dari kalangan Sunni."

Pemberitaan dari sudut pandang ini mewarnai berbagai analisis yang dikemukakan para pengamat politik, disebarluaskan ke seluruh dunia lengkap dengan foto-foto dan video berjudul warga Sunni yang menjadi korban kekerasan rezim Syiah di Suriah. Di berbagai negara termasuk Indonesia, muncul pro-kontra publik yang diwarnai sentimen mazhab. Publik yang bermazhab Sunni merasa sangat empati kepada rakyat Suriah sehingga mereka ikut berdemo menentang alasan atau bahkan menggalang relawan untuk berjuang membantu korban. Bahkan di Indonesia pun berbagai ormas menggemakan seruan jihad ke Suriah dengan mengedepankan isu sektarian bahwa Assad perlu digulingkan karena beraliran sesat.

Menurut Dina Sulaeman, Suriah merupakan negara yang mengedepankan nasionalisme Arab, sekularisme dan sosialisme. Ideologi ini ditanamkan oleh pemikir partai Ba'ath Michelle Aflaq. Ketika partai Baaths tersebut mulai berkuasa, keluarga-keluarga kaya yang semula berkuasa dipinggirkan. Yang muncul menjadi kelompok elit adalah mereka yang berasal dari kalangan miskin dan minoritas. mereka mengadakan proyek-proyek industrialisasi dan modernisasi pertanian. 

Pasca kudeta tahun 1971 Hafez al-Assad terpilih menjadi presiden melalui sebuah referendum menggantikan Salah Jadid. sejak itulah untuk pertama kali Suriah memiliki presiden dari kalangan Alawi. Sebelum berkuasanya Assad, orang Alawi dianggap sebagai kaum paria yang terpinggirkan dan selalu terintimidasi. Klamer menulis bahkan orang-orang Syiah Itsna Asyariyah awalnya juga menganggap kaum Alawi sebagai ghulat atau orang-orang yang berlebih-lebihan dalam mencintai Imam Ali, kaum Alawi diisukan menuhankan Imam Ali dan tidak melaksanakan salat sementara kaum Sunni lebih ekstrem lagi menganggap kaum Alawi bukan bagian dari Islam.

Untuk diketahui, Sejak tahun 1947 Ayatollah Muhsin Al Hakim menjalin persahabatan dengan kaum Alawi Suriah dan berusaha mendapatkan informasi tentang ajarannya dari tangan pertama. Akhirnya yang dilakukan oleh ulama Syiah tersebut membawa hasil berupa adanya pengakuan dari pemerintah bahwa Alawi adalah bagian dari muslim. pada saat itu semangat nasionalisme memang sedang berkobar. Suriah yang didominasi Sunni berupaya mempersatukan bangsa dengan merangkul kaum Alawi bahkan akhirnya kaum Alawi yang semula memiliki sistem peradilan sendiri ingin bergabung dengan sistem peradilan umum yang hanya mengakui syariat versi Sunni.

Ketika tahun 1972 al-Assad resmi menjadi presiden. Tuduhan bahwa Alawi bukan muslim kembali bermunculan. Kelompok garis keras terang-terangan menunjukkan penentangan mereka di antaranya adalah kelompok Ikhwanul Muslimin. Hennebusch menyimpulkan bahwa label yang tepat untuk rezim Assad adalah otoritarian populis.

Meskipun lawan-lawan politik Assad menyebut rezim Assad sebagai rezim Alawi namun data justru menunjukkan Asad pluralis. Menurut data para pemimpin militer Suriah terdiri dari empat puluh tiga persen Sunny dan tiga puluh tujuh persen Alawi. Sementara di komposisi menteri lima puluh delapan persen Sunny, Alawi dua puluh persen, sisanya Druze, Ismaily dan Kristen. Sebagian kaum Alawi dan keluarga dekat Asad memang memanfaatkan kedekatan mereka dengan lingkaran elite demi kepentingan pribadi dan nepotisme pemerintahan al-Assad sebagaimana juga ditemui di berbagai negara lain. Hanya saja kebetulan kali ini pelakunya adalah orang-orang Alawi. Karena adanya sejarah panjang konflik Sunni-Syiah, isu mazhab menjadi sangat efektif digunakan untuk menyerang rezim Asad. Dosa politik disetarakan dengan dosa kesesatan ajaran Alawi yang sudah dipercayai secara umum.

Awal konflik Suriah terjadi, 40 tahun sudah negara tersebut dalam pemerintahan Clan Assad, pembangunan sosial dan ekonomi Suriah masih jauh dari memuaskan. Bila menggunakan standar PBB yaitu human development, index berada di urutan 111 dari 182 negara. Suriah tergolong dalam negara berkembang berpendapatan menengah, titik perekonomiannya ditopang terutama oleh minyak dan pertanian. sejak tahun 2004 Suriah juga dikenai sanksi ekonomi oleh AS yang melarang atau membatasi ekspor-impor ke Suriah. dalam situasi seperti ini sangat wajar bila muncul demo anti pemerintah dan ada keinginan perubahan rezim. Assad memang telah berkuasa terlalu lama sehingga sangat wajar ada kejenuhan politik.

Pada periode 2011 yaitu seiring dengan gelombang pemberontakan di negara-negara Arab. Aksi demo juga terjadi di Suriah, para pengunjuk rasa menuntut reformasi menuntut mundurnya Presiden Bashar Assad, dibukanya kebebasan mendirikan partai politik dan kebebasan berbicara dan perbaikan ekonomi. Menanggapi aksi demo ini Pemerintah Suriah telah memberikan beberapa konsesi dan memenuhi sebagian tuntutan rakyat. Namun semua upaya yang dilakukan diabaikan oleh pihak oposisi karena tuntutan utama mereka yaitu mundurnya Assad tidak dipenuhi.Dalam berbagai aksi demo yang terjadi banyak korban berjatuhan akibat bentrokan dengan aparat keamanan, semua itu tentu saja wajar terjadi karena sama seperti era reformasi Indonesia tahun 1998, mahasiswa tidak mundur dari gedung DPR sampai Soeharto lengser. namun yang tidak wajar adalah sejak awal konflik bahkan sebelum demo dilangsungkan sudah ditemukan fakta adanya keterlibatan negara-negara asing yang bersiap-siap untuk melakukan operasi militer. Meski awalnya ditutup-tutupi oleh media mainstream namun jurnalis-jurnalis independen sejak awal konflik Suriah sudah menguak rencana negara-negara adidaya untuk menggulingkan presiden Assad lewat cara-cara kekerasan. menurut Global research tentara AS pada desember 2011 yang sudah ditarik pulang dari Irak ternyata justru dipindahkan ke Yordania dekat perbatasan Suriah.

Selain itu situs al-Wathan Voice Yordania memberitakan bahwa pejabat-pejabat negara barat telah meminta Raja Yordania untuk mengizinkan pembangunan stasiun mata-mata elektronik di dekat perbatasan Suriah dengan tujuan untuk mencari akses terhadap militer Suriah dan menyontek pejabat-pejabat tinggi mereka agar mau melakukan kudeta. Dari Turki modus serupa juga terjadi titik press TV menulis laporan bahwa ada indikasi bahwa kekuatan oposisi Suriah sedang menjalani latihan militer di kota Hakkari di bawah panduan Nato dan tentara AS. Berita ini ditutupi oleh media massa mainstream. seiring waktu berbagai fakta muncul, salah satu yang terungkap kemudian adalah adanya kelompok bersenjata yang melakukan aksi-aksi terorisme ala al-Qaeda.

Laporan-laporan PBB menyebutkan tentang aksi-aksi kekerasan yang muncul di Suriah, selain menyebutkan bahwa Tentara Pemerintah membombardir berbagai kawasan sehingga menjatuhkan korban sipil dan berbagai laporan negatif tentang pemerintah Suriah namun juga secara terang-terangan menyebutkan bahwa kelompok bersenjata anti pemerintah melakukan kekerasan juga terhadap rakyat sipil dengan tragis dan sadis.

Dunia internasional terbelah, AS menolak mengutuk aksi teror anti pemerintah itu dan Rusia mengecam sikap ini dengan menyatakan bahwa AS menerapkan standar ganda. Amerika memimpin perang melawan terorisme sejak 2001 dengan menduduki Afghanistan serta menggulingkan Saddam dengan alasan menumpas al-Qaeda namun ketika terorisme dilakukan dalam rangka menggulingkan rezim yang tidak dikehendaki AS negara adidaya itu tidak mau mengecamnya apalagi menyerang. Bahkan sebaliknya justru akhirnya terbukti AS yang menyuplai senjata kepada para pemberontak itu melalui tangan negara Arab.

Meskipun misi PBB di Suriah menyatakan bahwa segala sesuatu belum jelas, vonis sudah jatuh dalam hitungan menit pada era media internet saat ini, dalam sekejap video mayat-mayat menyebar luas ke seluruh dunia. Semuanya menyatakan bahwa rezim Assad lah pelaku pembantaian tersebut. Kemarahan segera memuncak di berbagai penjuru dunia. warga sipil dunia melalui jejaring sosial mengecam Asad, para politisi segera mengambil langkah diplomatik dan duta besar Suriah banyak yang diusir.

Pemberitaan yang ada terbelah dua. Media mainstream dan media Arab pro barat seperti al-Jazeera dan Al Arabiyah, yang kemudian dipublikasikan ulang oleh banyak media lokal di berbagai negara menyebut rezim Assad sebagai pelaku. mereka menghadirkan saksi mata dari pihak pemberontak bersenjata dan aktivis oposisi dan warga yang tidak tahu apa-apa. sebaliknya media Rusia Iran dan media pemerintah yang menghadirkan saksi mata yang menyatakan sebaliknya yaitu bahwa teroris pelakunya. Sepintas terlihat media tersebut Pro Asad dan saksi yang berlawanan dengan pemberitaan mainstream yang dilakukan dianggap sebagai saksi rekayasa.

Dina Sulaeman dalam buku ini secara lengkap menyebutkan banyak sekali media-media mainstream dan pemberitaan mereka baik dalam maupun luar negeri yang berat sebelah dan dengan ceroboh menulis tentang tragedi Suriah dengan cara yang memojokkan pemerintahan Asad. Bahkan mengindikasikan bahwa ada pihak teroris di Suriah yang juga berhubungan dengan al-Qaeda dan bekerja sinergis dengan FSA yang ingin menggulingkan pemerintahan Asad. Termasuk di Indonesia situs arrahmah.com, majalah Hidayatullah Dan Republika adalah di antara media-media dalam negeri yang secara luas memojokkan dan menggiring opini publik dalam prahara yang terjadi di Suriah.

Pada situasi yang semakin Genting tersebut tiba-tiba di Aleppo ada sebuah kelompok Jabhah Al Nusrah yang tiba-tiba merilis pengumuman tentang pendirian Khilafah Islamiyah di Suriah. Pemberontakan di Suriah yang awalnya dianalisis sebagai bagian dari demokratisasi “Arab Spring” runtuh seketika karena deklarasi dari Al Nusrah tersebut.

Dalam buku ini Dina Sulaiman ceritakan bahwa konflik Suriah tidak sesederhana yang dipikirkan dan diceritakan media massa. Banyak sekali faktor yang melandasi juga negara-negara yang terlibat. Fakta-fakta yang terjadi di kedua belah pihak tidak diceritakan oleh media mainstream sehingga opini publik seolah-olah dibuat untuk menjelekkan pihak presiden Assad.

Selain Amerika Serikat dan Rusia seperti yang dipaparkan di atas, Turki,  Iran dan China juga menggunakan kekuatan geopolitiknya di konflik Suriah ini. Perancis juga tidak mau kalah dan berusaha mempengaruhi peta kekuasaan yang ada.

Dina menyatakan sebenarnya target utama barat dalam perang dilancarkan dalam konflik Suriah selain untuk menggolkan cita-cita Israel Raya, ada unsur bisnis di balik Perang Suriah. Bisnis perang adalah bisnis besar-besaran yang melibatkan uang sangat besar. pada 2011 seratus perusahaan industri militer terbesar di dunia telah melakukan perdagangan senjata dengan nilai 410 miliar dolar. bisnis perang juga melibatkan selebritas Hollywood sehingga aktris cantik Angelina Jolie pun direkrut untuk menjadi juru bicara bagi intervensi kemanusiaan PBB yang terjadi di Arab, termasuk Suriah.

Di era modern, arogansi barat yang menganggap dirinya sebagai pihak yang berhak melancarkan perang atas nama kemanusiaan diwakili oleh PBB. Masalahnya pengambilan keputusan sangat bergantung kepentingan negara-negara adidaya. Itulah sebabnya serangan militer dan penggunaan strategi perang yang dilakukan meskipun dibungkus label kemanusiaan nyatanya mereka tetap menggunakan bom yang dijatuhkan dari pesawat. Bom baik rudal maupun bom bunuh diri adalah senjata pembunuh massal yang tidak memiliki mata dan akan menghancurkan siapa saja dan apa saja.

Salah satu korban dari bom bunuh diri Suriah adalah Syekh Said Ramadhan Al Buthi, ulama Sunni yang sangat dicintai dan dihormati banyak muslim tidak hanya di Suriah namun juga di berbagai penjuru dunia. Al Buthi adalah salah satu ulama yang menjadi rujukan kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah dalam bidang akidah sampai-sampai ada yang menyebutnya sebagai 'Imam Ghazali masa kini' dan menurut KH. Hasyim Muzadikarya beliau sudah banyak yang sampai di Indonesia. Dalam konflik Suriah Syekh Al Buthi mengambil posisi tegas tidak mau mendukung kelompok oposisi. Sepekan sebelum gugur Syekh Al buthi mengatakan "Siapa saja dari Anda yang menganggap diri Anda Mujahidin Anda pasti telah menurut fatwa yang salah maka bertobatlah." Syekh Al Buthi meninggal pada Februari 2013. Pada Maret 2013 teroris juga membantai ulama Sunni dari aleppo yang menolak bergabung dengan kelompok oposisi yaitu Syekh Hasan Saefudin bahkan beliau dimutilasi.

Yang paling menarik dari buku ini adalah bagian di mana ada seorang jurnalis asal Jerman Jurgen Todenhoffer mewawancarai presiden Assad. Sebagian transkrip wawancara itu dicantumkan oleh Sulaiman. Asad menyatakan. "Jika anda ingin tahu siapa yang membunuh, anda pertama harus tahu dulu siapa yang terbunuh. anda tidak bisa bicara tentang penjahat tanpa mengetahui korbannya. para korban itu mayoritas adalah mereka yang menjadi pendukung pemerintah. Jadi bagaimana seseorang bisa menjadi penjahat dan korban dalam waktu yang sama? Korban adalah tentara dan rakyat yang mendukung pemerintah dan sebagian besar lainnya adalah rakyat tak berdosa yang dibunuh oleh berbagai kelompok bersenjata di Suriah."

Jombang, 10 Juli 2020

1 komentar:

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *