Home Ads

Jumat, 14 Agustus 2020

Resensi Buku Sosrokartono, Aguk Irawan M.N.


Judul buku: Sosrokartono
(Novel Biografi R.M.P. Sosrokartono Guru Sukarno, Inspirator Kartini)
Penulis: Aguk Irawan M.N.
Penerbit: Imania
Tahun terbit: 2018 (Cetakan I)
Jumlah halaman: 369
Genre: Novel sejarah, biografi
Peresensi: Uswah

Membicarakan Sosrokartono tidak bisa jika tanpa membahas sosok Kartini, adik dari Sosrokartono. Mungkin tidak banyak yang mengetahui bagaimana kisah kakak Kartini ini. Sujiwo Tejo mengungkapkan kebahagiaannya karena pada akhirnya lagu yang dikompos olehnya berjudul Sugih Tanpo Bondo telah terbit penjelasannya dalam bentuk buku bergenre novel biografi Sosrokartono. Menurut Sujiwo Tedjo dalam kata pengantarnya, buku ini terbit untuk menjelaskan perbuatan dan laku yang dilakoni sendiri oleh penulis syairnya.

Syair dari Sosrokartono berbunyi;

Sugih tanpo bondo
Digdoyo tanpo aji
Nglurug tanpo bolo
Menang tanpo ngasorake
Trimah mawi pasrah
Suwung pamrih tebih ajrih
Langgeng tanono susah tanono bungah
Anteng mantheng sugeng jeneng

Sejarah yang dituliskan dalam bentuk novel memang selalu tampak lebih menarik untuk dibaca, berisi 23 bagian kisah perjalanan Sosrokartono. Novel sejarah ini berhasil menggambarkan dengan detail bagaimana laku hidup Sosrokartono yang jarang diungkap. 

Sosrokartono lahir di Mayong, Jepara, 10 April 1877. Terlahir dari rahim keturunan ulama yakni Nyai Ngasirah dan ayah seorang ningrat Raden Mas Ario Sosroningrat membuat Sosrokartono mendapatkan privilese untuk mengakses pendidikan bergengsi di ELS (Sekolah Rendah Belanda), ELS adalah sekolah yang murid-muridnya dikhususkan untuk anak-anak Eropa dan anak-anak bumiputra dari kalangan pangreh praja (salah satu dari dua bentuk birokrasi di Hindia Belanda).

Semenjak kecil, Sosrokartono telah menampakkan tanda-tanda istimewa. Sosrokartono kecil pernah berkata bahwa ia sekeluarga akan pindah ke Jepara, padahal tidak ada satupun anggota keluarga yang hendak ke Jepara. Ternyata beberapa waktu kemudian, Sosroningrat didapuk menjadi Bupati Jepara dan harus bertempat di Jepara. Tidak hanya itu saja, banyak kejadian aneh yang tidak lumrah dialami anak seusianya baik dari ucapan atau sikap, Sosrokartono cenderung nyeleneh. Peristiwa-peristiwa aneh ini disebut weruh sakdurunge winarah atau mengetahui sesuatu yang akan terjadi kelak. Dalam dunia sufi, keistimewaan semacam ini merupakan blessing yang disebut kasyaf.

Setelah lulus dari ELS, Sosrokartono melanjutkan pendidikannya di HBS, Semarang pada usia 15 tahun. Dan lagi-lagi, jika bukan karena putra dari seorang Bupati Jepara, mustahil Sosrokartono memasuki sekolah elit semacam HBS. Berkat kejeniusannya, setelah lulus dari HBS Sosrokartono mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya di THS Delft, Belanda jurusan Teknik. Namun pada tahun kedua Sosrokartono pindah kuliah ke Universiteit Leiden fakultas sastra disebabkan ia tidak cocok kuliah jurusan teknik. Masuk Leiden menjadi hal yang mudah bagi Sosrokartono karena Sosro menguasai bahasa Yunani dan Latin, membuat Prof. Kern juga beberapa ilmuwan terkesima dengan kemampuan Sosrokartono. 

Syair dengan lirik sugih tanpo bondo menggambarkan kehidupan Sosrokartono yang tidak meletakkan dunia dalam genggamannya. Karir cemerlang Sosrokartono dimulai saat ia menjadi juru bahasa di Liga Bangsa-Bangsa, gajinya menggiurkan. Namun karena organisasi tersebut tidak mendatangkan manfaat untuk Bangsa Indonesia dan penuh intrik politik yang hanya menguntungkan anggota organisasi, ia pun akhirnya mengundurkan diri. Segala fasilitas dan kemewahan ditinggalkannya dengan tanpa rasa penyesalan sedikit pun. 

Sosrokartono adalah seorang poliglot, penguasa 26 bahasa asing dan 10 bahasa Nusantara. Sosrokartono diundang untuk berpidato di Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia, September 1899:

“Dengan tegas saya menyatakan musuh dari siapa pun yang akan membikin kita (Hindia Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang” (hal. 195)

Tidak lama pidato ini viral dan menjadi ‘teror’ bagi para petinggi Eropa. Hampir 30 tahun dihabiskan untuk sekolah di Belanda dan mengembara di Eropa, kemampuan Sosrokartono sebagai poliglot nan jenius membuat para profesor Belanda bergidik ketakutan, termasuk Prof. Snock Hurgronje yang berhasil membegal Sosrokartono menyelesaikan program doktor di Leiden. Tapi bukan Sosrokartono namanya jika tanpa siasat yang rapi. Meskipun ia gagal meraih gelar doktor, Sosrokartono tetap menjadi sosok yang disegani di negeri Belanda. Laku inilah makna dari syair menang tanpo ngasorake (menang tanpa merendahkan).

Snock Hurgronje, mulai mengorek kekurangan Sosrokartono termasuk hutang-hutangnya yang menumpuk. Berhembuslah kabar ini hingga ke Jepara.

Dalam novel ini diceritakan setiap ada orang yang ingin membayarkan hutang Sosrokartono selalu ditolak dengan ungkapan yang sama secara berulang “hutang itu adalah hartaku, aku akan menyelesaikannya sendiri”, bahkan bantuan pelunasan hutang dari J. H. Abendanon, orang terdekat keluarga Sosroningrat pun ditolak.

Sosrokartono juga menjadi wartawan pada perang dunia (PD) I yang sangat misterius, tulisan-tulisannya di surat kabar dengan nama pena berupa kode bintang tiga tak luput membuat para elit politik tercengang. Rahasia beberapa siasat politik terbongkar dengan mudah oleh Sosrokartono tanpa bantuan agen atau mata-mata. Saat ia menjadi wartawan pernah ditawari untuk dibawakan senjata sebagai pelindung diri saat terjadinya perang yang mencekam, namun Sosrokartono menolak, mungkin ini makna dari syair digdoyo tanpo aji (tak terkalahkan tanpa kesaktian) dan nglurug tanpo bolo (menyerbu tanpa pasukan) 

Setelah menjadi wartawan di PD I, Sosrokartono pulang ke tanah air dan mendalami agama Islam melalui Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari, yang usianya terpaut dua tahun lebih tua dari Sosrokartono. Sosrokartono juga menjadi tabib hanya dengan barokah ‘suwuk’ huruf alif sehingga ia dijuluki Sang Alif. Ia juga menjadi guru spiritual bagi Soekarno, presiden pertama Indonesia sebab ketenangan, ketajaman pikiran dan kewaskitaan Sosrokartono. Langgeng tanono susah tanono bungah (tetap tenang meskipun dalam keadaan duka maupun suka). Sosrokartono adalah inspirator Kartini, pemikiran Kartini dan gagasan emansipasinya diwariskan dari kakaknya selaku penasihat dan penyuplai buku-buku bacaan Kartini. 

Sosrokartono wafat dalam keadaan sakit lumpuh pada usia 74 tahun. Ia wafat tanpa membawa harta benda, membujang, sederhana, dan apa adanya. Trimah mawi pasrah (menerima juga pasrah), suwung pamrih tebih ajrih (jika tanpa pamrih tak perlu takut), anteng mantheng sugeng jeneng (tidak macam-macam, membuat nama baik terjaga)

Tentang novel ini, ada yang sedikit mengganjal tentang sejarah perkawinan antara Sosroningrat dengan Nyai Ngasirah dan Woerjan, juga silsilah Sosrokartono. Ketika membaca silsilah dan kisah pernikahan Sosroningrat dengan Nyai Ngasirah dan R.A. Woerjan saya memutuskan untuk menjeda sementara meneruskan membaca novel ini hingga saya menemukan referensi lain tentang sejarah keluarga Sosrokartono. 

Dalam novel ini diceritakan bahwa Woerjan adalah istri pertama, memiliki 3 anak, yakni Sosroningrat, Sosrobusono, dan Cokroadisosro (digambarkan sebagai seorang perempuan)

Referensi yang saya dapatkan dari buku R.M.P. Sosrokartono yang ditulis oleh Muhammad Muhibbuddin, Woerjan adalah istri yang dinikahi setelah Sosroningrat menikah dengan Nyai Ngasirah (meskipun pada akhirnya Woerjan menjadi garwa padmi atau istri utama karena Woerjan dari kalangan bangsawan, sedangkan Nyai Ngasirah menjadi garwa ampil atau garwa selir), memiliki 3 anak yakni R.A. Soelastri (menikah dengan Cokroadisosro), Roekmini, Kartinah. Di novel ini pula, Sosrokartono menjadi anak pertama Nyai Ngasirah, sedangkan dalam referensi lain Sosrokartono merupakan anak ketiga Ngasirah.

Namun sejarah dan silsilah Sosrokartono dalam novel ini tidak hendak menjadikan novel ini abu-abu pula kisahnya, sebab setiap penulis mungkin telah melakukan riset dari sumber yang berbeda. Novel merupakan salah satu dari karya sastra yang bebas diceritakan berdasarkan fakta sejarah, dan penulis sastra bebas berimajinasi juga merekonstruksi dengan logika sejarah. Tentu saja menulis novel sejarah berbeda dengan menulis sejarah. 

Ada beberapa penggunaan bahasa yang masih kurang tepat dalam novel ini, seperti kata "tidak bergeming" yang dimaksudkan penulis diam, padahal bergeming maknanya adalah diam. Juga setting bahasa dalam dialog imajiner Nyai Ngasirah dengan orang tuanya, Nyai Ngasirah memanggil orang tuanya dengan panggilan “Ayah dan Ibu”, rasanya mustahil tahun 1800 sudah ada panggilan ayah dan ibu. 

Tapi untuk buku setebal 369 ini perlu diapresiasi tentang kelengkapan dokumentasi penulis dalam menggarap novel yang apik ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *