Home Ads

Jumat, 31 Juli 2020

Resensi Buku Eloy, Alberthiene Endah


Judul Buku: Eloy
Pengarang: Alberthiene Endah
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2012
Jumlah Halaman: 338 halaman
Genre: Novel Biografi
Peresensi: Luly Prastuty

Mengenal seseorang dari bagaimana ia berjuang adalah emas. Emas yang dimaksud tentu bukan denotasi, melainkan inspirasi pelajaran hidup. Eloy membuka hati saya untuk lebih menerima proses pengembangan diri melalui pengalaman personal seorang theocentric motivator, business trainer dan executive coach tingkat Asia. Selama ini, motivator sering dianggap ‘mengeksklusifkan diri’ dari masyarakat biasa karena citranya yang lekat dengan jas, ruang pertemuan mewah, dan mobil. Padahal, tidaklah demikian. Ada perjalanan penuh derai air mata untuk mencapai karier tersebut.

Pertama kalinya, imajinasi saya terlempar ke pedalaman Pulau Nias, sebuah dunia yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh saya, pun peta Indonesia. Eloy menjadi novel yang sarat nilai dengan menyoroti kehidupan nyata Elifati Zalukhu dan keluarganya di Dusun Ononamölö, Kecamatan Alasa, Pulau Nias, Sumatera Utara. 

Eli kecil lahir sebagai bungsu dari enam bersaudara dan dihidupi oleh seorang ibu penyayang yang biasa dipanggil dengan sebutan Ina. Alur cerita tidak hanya berfokus pada Eli tetapi juga keluarganya. Dikisahkan pula sejarah bagaimana kehidupan mereka saat masih belum ditinggal meninggal ayahnya hingga akhirnya harus hidup mandiri di tengah pengasingan, di hutan. 

Eloy, bagi saya pribadi, memberikan potret yang sebelumnya tidak saya ketahui tentang kehidupan sosial, kultural, dan ekonomi masyarakat pedalaman Nias. Menaruh sudut pandang dari kacamata Eli cukup menggambarkan kekayaan ilmu humaniora. Terlebih, novel ini juga menarasikan bagaimana satu keluarga ini berinteraksi. Pola patriarki yang kuat—sesederhana jumlah tokoh laki-laki yang lebih banyak—hingga toxic masculinities yang mendera saudara lelaki tertua tertulis dengan jujur di sini. Beban untuk bertahan hidup serta bagaimana masyarakat sekitar memandang rendah mereka menjadi alasan tersebut. Meskipun begitu, semuanya berakhir selalu dengan maaf dan sesal. 

Setiap malam, seluruh anggota keluarga tidur berjajar di tikar yang sama. Pagi harinya, mereka sarapan bersama dengan pisang kukus bertabur parutan kelapa dan air putih hangat beraroma wangi kerak nasi. Hidup di dalam gubuk dengan angin dingin yang masuk lewat celah-celah kecil dinding anyaman, aroma getah pohon karet, jernih air sungai Tumula dan waktu bermain bersama Manó menemani Eli memaknai arti kebahagiaan dengan cara sederhana. 

Namun, semuanya berubah ketika keluarga ini dipertemukan dengan Mr. Ron, seorang pria berkebangsaan Amerika yang baik hati mendanai empat bersaudara ini untuk bersekolah hingga perguruan tinggi. Sementara, dua saudara yang tertua diberi dana usaha Pendidikan menjadi cahaya penerang bagi keluarga Eli. Ia pun tidak menyangka bisa menempuh pendidikan hingga ke Melbourne, Australia.

Nyatanya, kesempatan berlinang madu itu tidak mudah. Kehidupan remaja Eli di Jakarta saat SMA membuka matanya akan realita kehidupan bebas yang keras. Perundungan, rokok, alkohol, ganja dan seks bebas seakan menjadi rahasia umum sesama temannya. Ini tidak begitu berbeda dengan lingkungan pergaulan Eli di luar negeri. Lingkungan pertemanan yang semakin menjauhkannya dari Tuhan Yang Maha Esa membuat hati dan jiwa Eli kering. Begitu perih hingga tidak terasa lagi. 

“Pada dasarnya semua orang berlari dengan harapan. Mimpi dan tujuan adalah wahana yang membuat hidup memiliki semangat. Masalahnya adalah tujuan manusia umumnya salah sasaran. Mereka mengharapkan sesuatu yang tidak merujuk pada kebahagiaan hakiki. Mereka tunduk pada apa yang dikatakan dunia melalui berbagai media. Kita semua nyaris ingin menjadi orang lain, karena alam sekitar terus menyodorkan sesuatu yang membius dan menyihir.” – Halaman 260

Ketukan pintu taubat berkali-kali ditunjukkan kepada Eli. Hingga perlahan namun pasti, ia mencoba bangkit dan menemukan kehidupannya yang baru dengan mendedikasikan dirinya kepada Tuhan. Perjalanan pencarian jati diri baginya adalah labirin yang rumit. Jika dihadapkan jalan buntu, satu-satunya cara yaitu kembali dan bertahan dengan harapan menyusuri jalan yang tepat. Sosok ibunda, Ina, selalu mengingatkan Eli untuk menggenggam Tuhan di hatinya. Ina menjadi pelabuhan hidupnya, menjadi rumah yang menyadarkan dirinya. Akhir dari proses pembangunan jati diri ini ia temukan dengan ‘profesi yang bertujuan mencerahkan pikiran orang banyak.’ Butuh waktu yang lama bagi Eli untuk yakin menapaki kariernya dari konselor pendidikan hingga berjuang menjadi motivator bisnis.

Menurut saya pribadi, buku ini memberi wawasan yang luas tentang kehidupan sosial seseorang. Memahami nilai-nilai kehidupan dari pengalaman nyata adalah multivitamin dan bahan bakar mengusahakan apa yang diusahakan. Buku ini membuka kesadaran, jika segala sesuatu ditujukan kepada Tuhan, maka akan ada banyak perbaikan yang kita dapat di berbagai sisi kehidupan. Nilai agama sangat penting dimaknai sehingga kita selalu ingat di mana kita berpijak dan dengan maksud apa kita dilahirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *