Home Ads

Kamis, 01 Oktober 2020

Resensi Buku Untuk Republik Kisah-kisah teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa, Faisal Basri dan Haris Munandar


Judul: Untuk Republik Kisah-kisah teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa
Penulis: Faisal Basri dan Haris Munandar
Penerbit: Indonesia Research and Startegic Analysis
Tebal buku: xx + 404 halaman
Genre: Nonfiksi
Peresensi: Nabilah Munsyarihah

Buku ini memuat kisah teladan dari 23 tokoh bangsa. Tokoh-tokoh yang dengan sadar memilih kesederhanaan sebagai nilai yang dipegang teguh. Nilai ini membuat mereka merasa cukup meski dipandang kurang, dianggap rugi karena tidak memanfaatkan kekuasaan, dan dianggap sok-sokan. Tapi itulah diri mereka yang otentik. Tidak terpengaruh meski terhimpit. 

Buku ini ditulis berangkat dari kegelisahan penulis yaitu Faisal Basri atas situasi Indonesia yang semakin krisis nilai dan keteladanan. Faisal Basri sendiri, bagi saya, adalah salah satu orang baik sekaligus berakal sehat di republik ini. Sempat-sempatnya sebagai ekonom ulung, ia menulis buku semacam ini. Terbayangkan sebesar apa kegusaran Faisal Basri. Ia memilih dengan teliti tokoh mana yang hendak ia tulis dan tidak ia tulis. 

Menurut Anda, jika membahas tokoh bangsa nama siapa yang pertama akan disebut? Mungkin Anda menjawab Bung Karno. Jika itu jawaban Anda, buku ini memilih sudut pandang yang agak mengagetkan. Penulis memilih tokoh pertama yang ditulis dalam buku ini adalah Inggit Ganarsih, istri pertama Soekarno. 

Inggit mulanya adalah istri dari kawan gurunya, H. O. S Tjokroaminoto. Pak Cokro menitipkan Kusno (nama muda Soekarno) kepada kawannya agar Kusno bisa melanjutkan belajar di Bandung. Ternyata Kusno jatuh hati pada istri pemilik rumah, ialah Inggit. Pendek cerita, Inggit pisah dengan suaminya. 

Mereka pun menikah meski jarak usia di antara keduanya lumayan banyak. Kusno masih 20an, Inggit sudah lebih dari 30. Tapi Inggit menyayangi Kusno sepenuh hati. Inggit bekerja keras mencari nafkah. Dia membuat dan menjual jamu dan lulur. Sementara itu, Kusno melanjutkan belajar dan perjuangan politiknya. Sebagian besar koleksi buku Soekarno dibelanjakan oleh Inggit. Konon tak pernah sekalipun ia mempermasalahkan Soekarno yang tak memilih bekerja dengan penghasilan pasti. Soekarno mengandalkan honor-honor menulis yang tentu tak cukup untuk biaya hidup dan biaya perjuangan. 

19 tahun pernikahan Inggit dan Soekarno. Inggit selalu setia dan mendukung Soekarno tanpa mengeluh. Ia tahu pasti kualitas pribadi Soekarno dan maknanya bagi bangsa yang akan lahir ini. 

Sampai akhirnya, Soekarno dibuang ke Ende. Di sana ia bertemu dengan anak temannya, Fatimah. Saat Inggit mencium gelagat Cinta, Inggit minta cerai saja. Ia tak mau dipoligami. Fatimah ini yang kita kenal dengan nama Fatmawati. 

Selama bersama Soekarno, Inggit melakukan apapun yang bisa ia lakukan untuk mengantarkan Soekarno ke gerbang. Ia tidak pernah menjadi Ibu Negara. Tapi kesetiaan dan kerja keras Inggit yang menumbuhkan Soekarno sebagai tokoh bangsa yang matang. Naluri Soekarno terhadap perempuan memang tak bisa dikendalikan oleh siapa pun. Inggit yang kokoh itu makin bersinar karena Soekarno mencampakannya. 

Sosok Hatta sangat berbeda dengan Soekarno dalam hal perempuan dan segala yang keduniawian. Hatta sangat polos perihal perempuan. Ia hidup sangat sederhana meski kekuasaan dalam genggamannya. Prinsipnya tak terbeli. Hatta pernah berjanji tidak akan menikah sampai Indonesia merdeka. 

Akhirnya setelah menjadi wakil presiden, ia memilih Rahmi menjadi istrinya. Beruntung, Rahmi juga perempuan sederhana. Kalau bukan Rahmi, mungkin istri Hatta sudah tak betah diajak hidup di rumah yang tak lunas-lunas dicicil. Menolak setiap keistimewaan yang diberikan negara selain hak yang sewajarnya.

Ketika Soekarno naik haji bersama staf dan keluarganya dengan fasilitas negara, Hatta berangkat bersama keluarganya terpisah dari rombongan kepresidenan. Jika negara membiayai pengobatannya, ia kembalikan sisanya. Ia pernah memarahi sekretarisnya karena memakai kertas kantor sekertariat negara ketika kantor wakil presiden kehabisan kertas. Seremeh dan sekecil apapun, Hatta tidak bisa menoleransi tindakan 'mengambil yang bukan haknya'. Satu-satunya kemewahan yang Hatta miliki adalah buku-bukunya. 

Hatta berwasiat tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sebab, ia tahu ada koruptor periode awal orde baru yang dimakamkan di situ. Hatta memegang prinsipnya sampai ke liang lahat. Setelah ia wafat, ditemukan secarik kertas iklan sepatu Bally terlipat di dalam dompetnya. Rupanya Hatta yang selalu ngirit dan gemar menabung itu menyimpan baik-baik keinginannya memiliki sepatu bagus dan mahal. Itu pun tak pernah kesampaian.

Masih ada banyak keteladanan bertaburan dalam buku ini. Ada A.H Nasution, AR Fachruddin, Saifuddin Zuhri, Johannes Leimena, SK Trimurti,  Baharudin Lopa, dan lain sebagainya. Dari cerita-cerita ini menunjukkan bahwa kesederhanaan itu tidak mudah. Sederhana sepaket dengan kejujuran, bertanggungjawab, idan integritas. Selalu ada situasi dilematis apakah nilai itu harus dipegang erat atau dikompromikan. Tokoh-tokoh dalam buku ini adalah mereka yang menang melawan sisi gelap diri sendiri. Meski susah dan terhimpit, mereka berintegritas, kokoh, dan tak terbeli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *