Home Ads

Rabu, 07 Oktober 2020

Resensi Buku Sekolah Dibubarkan Saja!, Chu-Diel



Judul: Sekolah Dibubarkan Saja!
Penulis: Chu-Diel
Penerbit: INSISTPress
Genre: Nonfiksi
Tahun terbit: 2010
Tebal: 178 halaman
Peresensi: Ummi Tanzila
 
Buku ini mewakili keresahan yang tak ada habisnya akan dunia pendidikan. Banyak sekali anak yang “asal ngikut” sekolah, baik sejak tingkat di SD hingga SMA. Selama 12 tahun menghabiskan hidupnya dari pagi sampai siang, bahkan sore, di gedung yang bernama sekolah, tanpa tahu apa tujuannya.
 
Belum berhenti di SMA, “asal ngikut” kadang juga berlajut di bangku perkuliahan S1, bahkan bisa sampai S2. Ini lebih bahaya kalau ternyata masih asal ngikut beneran, tanpa tahu apa tujuannya.
 
Buku ini bercerita tentang seorang anak bernama Rio yang sudah dua kali tinggal kelas dengan alasan yang 'klasik' dari gurunya, yaitu nakal, tidak bisa diatur, dan tidak bisa berkonsentrasi untuk belajar. Tak terelakkan, Rio menjadi pentolan di kelas. Selain tubuhnya yang memang tinggi besar, image anak tinggal kelas yang nakal membuatnya semakin mengamini hal tersebut.
 
Padahal, saat di rumah, Rio sebenarnya anak yang baik, manja, dan patuh pada orang tua. Turut mencari rumput untuk sapi keluarga. Kadang ikut memanen cabai di ladang depan rumah. Di rumah, ia mendapatkan keterampilan bertani dan beternak. Beruntung sekali!
 
Hal itu dibahas pada bab pertama buku ini.
 
Suatu hari, Rio tidak berangkat sekolah. Alasannya bukan karena biaya, karena keluarga Rio tidak tergolong ekonomi rendah. Sawahnya banyak, rumah yang baik, sepeda motor ada, kakak-kakaknya pun siap membantu.
 
Setelah ditanya kenapa, dengan entengnya dia menjawab bahwa sekolahnya tidak berguna. Lebih baik ia bekerja saja di sawah/ladang, bisa dapat uang.
 
Jadi, menurut Chu-Diel --penulis buku ini, jika alasan ekonomi dikatakan sebagai tingginya angka putus sekolah, tentunya ini adalah alasan klasik yag menjadi kambing hitam saja.
 
Penulis pun mengadakan riset akan beberapa kasus siswa yang memilih berhenti sekolah. Alasannya hampir serupa dengan Rio, mereka tidak punya motivasi sekolah. Tidak merasakan adanya manfaat langsung yang didapat dari sekolah. Mereka memilih berhenti, kemudian pergi ke ladang/sawah/tempat bekerja karena dirasa lebih konkrit dan bermanfaat.
 
Apakah yang dilakukan Rio bukan pendidikan? Sangat naif jika kita mengatakan tidak. Bahkan Rio jauh lebih beruntung. Ia memiliki hak memilih dan menentukan arah hidup tanpa paksaan dari siapapun.
 
Lebih galak, Chu-Diel mengatakan bahwa sekolah tak beda dengan sebuah pabrik, di bab Pabrik itu Bernama "Sekolah". Pabrik ini dikelola dengan canggih oleh orang-orang hebat dan profesional. Lulus pendidikan keahlian khusus dan mendapatkan sertifikt. Namun, penulis mulai ragu dengan keahlian tersebut, karena sebagian besar hanya bisa mengajar, bukan mendidik. Pengelola pabrik itu disebut "guru".
 
Peralatan di pabrik ini juga sangat canggih, namanya "kurikulum". Sayangnya, kurikulum ini sering ganti-ganti sesuai selera pemilik pabrik, dengan alasan untuk meningkatkan kualitas hasil produksi. Meski ujungnya, sering membuat pengelola pabrik kebingungan. Tapi mereka tak peduli.
 
Hasil produksi dari "pabrik" sekolah ada beberapa macam. Mulai dari "barang jadi" yang siap dikonsumsi. Artinya, setelah diolah selama belasan tahun, produk tersebut siap bekerja sesuai bidangnya masing-masing.
 
Ada pula "barang setengah jadi", yaitu hasil produksi yang tidak bisa bekerja di manapun karena tidak punya keahlian apa-apa, sehingga harus kembali diolah agar menjadi barang siap pakai.
 
Selanjutnya ada "barang yang dianggap jadi" tetapi tidak berfungsi seperti yang diharapkan dan tidak mampu bersaing dengan barang-barang lain sehingga hanya menjadi pajangan manis di depan atau belakang nama mereka. Inilah orang-orang yang telah rampung diolah di pabrik sekolah tetapi tidak siap memasuki dunia kerja atau bertarung di kehidupan nyata.
 
Ironinya, menurut penulis, inilah hasil produksi paling banyak, yang disebut pengangguran.
 
Istilah sekolah dibubarkan saja, pasti membuat beberapa orang marah dan tidak setuju. Penulis menyadari betul itu. Kemudian mengutuki penulis sebagai orang tak tahu terima kasih karena kenyataannya ia juga produk pabrik sekolah.
 
Di akhir buku, penulis mencoba memberi masukan sebagai solusi. Pertama ia berkisah tentang Toto Chan dikeluarkan dari sekolah kemudian menemukan sekolah lain yang menjadikan muridnya sebagai subjek, bukan objek.
 
Kemudian, dari psikolog bernama Lewin Lewin, yang mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran harus melibatkan aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap dan emosi), juga psikomotorik (praktek langsung). Jangan hanya murid diberi limpahan ceramah panjang lebar sehingga bosan melanda. Agar tidak terjadi pelajaran yang paling membahagiakan bagi siswa saat guru berkata, "Hari ini ibu ada rapat dengan kepala sekolah dan anak-anak boleh pulang awal."
 
Malcolm S. Knowless (1913-1997), juga mengatakan bahwa ada tiga hal baik yang ikut dilibatkan dalam proses belajar, yaitu respect (penghargaan), immediacy (segera dilakukan/dipraktekkan), dan relevance (relevansi dengan minat dan kepentingan).
 
Wajar saja, orang tidak akan pernah lupa pelajaran mengendarai motor karena dilakukan berulang. Beda dengan pelajaran di sekolah yang hanya berupa ceramah. Pasti mudah lupa.
 
Kemudian ada pepatah Cina yang telah berusia ribuan tahun berbunyi:
 
Aku dengar, aku lupa
Aku lihat, aku ingat
Aku kerjakan, aku pahami
Aku dalami, aku miliki.
 
Jika saja pemilik dan pengelola sekolah mau memahami dan mengamalkan beberapa masukan di atas, maka sekolah tidak akan menjadi pabrik, sehingga karakter siswa bisa berkembang sesuai potensi dan tidak terbunuh jati dirinya. Rio tidak akan memilih berhenti sekolah, dan sekolah tidak perlu dibubarkan.
 
Apalagi di saat pandemi seperti ini, saatnya pepatah dari Ki Hajar Dewantara kita gaungkan kembali, bahwa:
Setiap orang menjadi guru,
Setiap rumah menjadi sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *