Home Ads

Sabtu, 07 November 2020

Resensi Buku Cinta Itu Bangsat, Sanghyang Mughni Pancaniti


Judul Buku: Cinta Itu Bangsat
Pengarang: Sanghyang Mughni Pancaniti
Tahun Terbit: 2020
Penerbit: PAKU
Genre: Fiksi
Peresensi: Nur Kholilah Mannan

Cinta Itu Bangsat

Dari judulnya bisa ditebak cerita yang tertuang di dalam buku ini adalah luapan amarah. Mengutuk cinta yang sempat ia rasa sebagai keindahan, ketentraman, ketenangan dan kebenaran tapi nyatanya ia adalah bullshit. Ketika saya tanya apakah perjalanan cintanya sekadar fiktif belaka atau fakta, penulis menjawab bahwa ini adalah memoar kehidupan. Dan itu semakin membuat saya empati dan masuk dalam kisah dalam buku-bukunya.

Namun cinta yang dimaksud bukan sekadar cinta pada lain jenis. Sanghyang Mughni berhasil memaknai cinta dengan berbagai makna. Pertama, cintanya pada judi, permainan ini awalnya menjadi hiburan namun semakin lama menjadi sebuah kegiatan wajib melebihi kewajiban agama; salat, taat orang tua dan larangan mencuri. Ya, Maula (yang dalam cerita ini tak pernah disebutkan namanya) kecil sudah menjadi Raja Judi/King of Gambler. Kemudian mengantarkan ia pada perbuatan lain seperti mencuri, memalak dan menipu.

Kedua, cintanya pada perempuan (diceritakan lengkap dalam buku Tahun Tanpa Tuhan) yang selama bertahun-tahun ia percaya, meski ada kabar bahwa ia berbuat serong tak pernah ia gubris, dianggapnya kabar angin. Tak peduli berapa kali kabar itu ia dengar ia tetap yakin bahwa perempuannya adalah orang yang baik. Begitulah cintanya, selalu dinomorsatukan. Sampai pada suatu malam ketika ia melihat dengan korneanya sendiri bahwa perempuannya sedang asyik masyuk dengan lelaki lain di dalam kosannya. 

Ketiga, cintanya pada informasi pertama yang ia dengar. Ketika ia merasa harus bertobat dari perbuatan judinya di masa kecil, ia merasa Pondok Pesantren adalah tempat yang tepat untuk mengubah dirinya, menghentikannya dari perbuatan keji lainnya. Ia anggap pesantren adalah tempat suci tanpa cela dan semua hal di dalamnya adalah kebaikan.

Di dalam pesantren ia berkenalan dengan Ari, teman sekamarnya yang hobi membaca majalah Sabili. Maula merasa tertarik pada majalah itu, maka setiap Ari rampung membaca majalah Sabili edisi terbaru, Maula menjadi orang pertama yang melahap semua redaksi di dalamnya. Sebagaimana orang yang baru hijrah, akidahnya mengalami pubertas, belum tahu banyak tiba-tiba menelan semua informasi tanpa pilah. Dua tema besar yang dibahas dalam Sabili; Khilafah (tema ini tak begitu menarik bagi Maula karena ia merasa masih belum “bersih”) dan Gus Dur. Dalam Sabili dituliskan tentang memoar presiden keempat ini. Gus Dur yang ketika Maula baru masuk pondok sering diberitakan sebagai seorang yang kontroversial. Hal ini didukung statusnya sebagai ulama kesohor di Indonesia, cucu pendiri organisasi raksasa Nahdlatul Ulama Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Polemik Gus Dur yang sempat dituliskan adalah ketika didoakan oleh umat Kristiani, menurut Maula, Gus Dur sudah murtad dan halal darahnya ditumpahkan sebagaimana yang telah ia pelajari di sekolahnya. Setelah itu ada kabar bahwa Gus Dur mengeluarkan pernyataan bahwa al-Qur’an adalah kitab paling porno, jelas kabar ini membuat amarahnya semakin membuncah. 

Tak luput, tentang kisah pembelaan kiai NU ini pada Inul Daratista yang jika beraksi di atas panggung mampu menarik perhatian sejuta mata lelaki hidung belang dengan goyang ngebornya. Tiga informasi yang ia dapatkan dari Ari dan majalah Sabili ini berhasil membuat Maula mengumpat, mengucap sumpah serapah.

Sebagaimana cintanya pada informasi yang pertama kali diterimanya, ia pun mencintai majalah Sabili hingga segala di luar Sabili adalah salah. Setelah beberapa lama memupuk kebencian pada Gus Dur, Maula mulai tersadar bahwa ia terprovokasi oleh informasi yang keliru. Bagaimana mungkin Gus Dur, seorang ulama besar tindak tanduknya tidak mencerminkan sikap seorang panutan, terlebih sebuah fakta bahwa Gus Dur pernah berkunjung ke Pesantren Al-Falah yang kini ia singgahi untuk bersilaturrahim pada kiai yang sangat ia segani, KH. Ahmad Syahid, seseorang yang menurutnya pasti selektif dalam menerima kunjungan tamu.

Kebenciannya pada statemen Gus Dur bukan karena ia pembela Islam atau karena mengerti tentang syariat, ia sadar bahwa ia sedang dalam masa puber akidah. Tidak disangka, Maula mendapat jawaban dari seluruh ‘kejanggalan’ Gus Dur melalui cara Tuhan yang unik, terdengar ceramah Cak Nun dalam kuliah Ilmu Dakwah tentang konsep dakwah, bahwa dakwah adalah wa tawā shau bil haqqi wa tawā shau bishshabri, dan buku Guntur Romli yang bercerita lengkap tentang pernyataan yang dipenggal dari Kongkow Gus Dur tentang al-Qur’an adalah kitab suci paling porno. 

Lengkap sudah Cinta Bangsatnya, ia merasa Tuhan telah membolak-balikkan hatinya, kepiluan seorang kekasih dan kesalahan menghakimi sebelum mengetahui. Cinta yang mampu membuatnya fanatik hingga mampu menghilangkan akal sehat dan menutupi kata hatinya.

Akhir kata buku ini tetap memiliki kekurangan pada pengetikan, tulisan ini bukan wahyu dan kesalahannya menunjukkan kemanusiaan penulisnya. Tapi itu tak terlalu substantif, memoar ini sudah cukup memberi pelajaran pada pembaca tentang menahan untuk tidak mencintai dan membenci secara berlebihan sebelum berbicara, menilai dan menghakimi. Ini penting bagi warga netizen, selamat membaca!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *