Home Ads

Rabu, 10 Februari 2021

Resensi Buku Tak Ada Kernet di Australia: Imajinasi dan Mimpi dari Balik Kemudi, Iqbal Aji Daryono

Memaknai Hal-hal yang Terserak



Judul Buku: Tak Ada Kernet di Australia: Imajinasi dan Mimpi dari Balik Kemudi

Penulis: Iqbal Aji Daryono

Penerbit: DIVA Press

Tahun Terbit: 2020

Genre: Nonfiksi

Jumlah halaman: 199

Iqbal Aji Daryono (IAD) banyak menulis tentang Australia. “Out of The Truck Box”, bukunya yang terbit pada 2015, menceritakan petualangan dan perenungannya sebagai sopir truk di negeri kangguru. Lewat “Tak Ada Kernet di Australia” sekali lagi ia menyajikan pengalamannya tinggal tak kurang dari empat tahun di benua suku Aborigin itu.


Kurang tepat jika menebak buku ini semata berkisah tentang hari-hari seorang TKI kurir bertahan hidup di Australia. Lebih dari itu, IAD mengajak kita memaknai beragam informasi dan menguji perspektif dalam memandang berbagai persoalan. Tapi apa hubungannya dengan kernet? Rupanya, kumpulan tulisan ini adalah hasil perenungan IAD dari balik kemudi mobil angkutan barang yang ia setir setiap hari. Berkat ketiadaan kernet di sisinya, lamunan itu mungkin terjadi hingga melompat ke banyak tempat.


Kita tahu, semakin hari dunia semakin banyak menyajikan pilihan. Tapi banyaknya informasi seringkali menciptakan keresahan tersendiri. Salah satunya rasa takut atau cemas ketinggalan berita atau hal-hal terbaru yang terjadi, yang sering juga disebut sebagai Fear of Missing Out (FOMO). Buku ini adalah buku yang bisa menjadi opsi meredakan keresahan itu. Sebab bagi IAD, yang terpenting bukan saja soal ‘mengetahui’, tapi memahami ada apa di balik segunung hal ihwal yang telah kita ketahui. 


Kumpulan esai ini akan menemani kita rehat sejenak dari rutinitas dan air bah informasi untuk mengambil jeda dan berefleksi. IAD menyebut kumpulan tulisan ini sebagai ‘rest area’. Kebanyakan esai-esai ini ditulis di tepi danau di sela-sela pekerjaannya sebagai kurir. Ia merenungkan sederet isu sosial, mulai dari pendidikan, keberagaman, keberagamaan, kebijakan publik, dan masih banyak lagi.


Esai-esai IAD bukan tipikal tulisan yang penuh kekaguman dan puja-puji ala warga Dunia Ketiga memandang negara maju. Sebaliknya, justru penuh dengan sinisme. IAD beberapa kali menekankan kejelian dalam membaca dan mendudukkan persoalan. Pada esai “Alumni” misalnya, ia nyinyir kepada alumni-alumni luar negeri yang doyan mencibir kondisi sosial dalam negeri dan membandingkannya dengan negara maju. Misalnya isu trotoar di mana masyarakat kita sering disebut merampas hak pejalan kaki karena miskin kesadaran. IAD menukas bahwa persoalannya tidak sesederhana itu. Ada problem struktural yang berkelindan di baliknya seperti problem kepadatan penduduk, urbanisasi, transportasi publik yang tidak merata dan lain-lain. Menurut IAD, membandingkan dua negara secara tidak sepadan dengan mengabaikan konteks hanya berujung sebagai penghakiman ala kelas menengah.


Cara mendudukkan persoalan yang keliru juga muncul dalam pembahasan tentang daging. Australia adalah surganya daging dengan harga yang jauh lebih murah dari Indonesia. Realita ini sering mengundang pertanyaan mengapa Indonesia yang tanahnya subur tidak bisa memproduksi daging murah sendiri? Jika ditelisik, peternakan sapi ternyata lebih membutuhkan lahan yang luas ketimbang kesuburan tanah. Produksi sapi di Indonesia lebih cocok dilakukan di daerah timur namun terganjal mahalnya ongkos transportasi. Sedangkan di Australia yang tanahnya luas dengan jumlah penduduk tak seberapa, pemerintah bisa memberikan hak guna lahan pertanian dan peternakan hingga 99 tahun.


Indonesia juga tidak jarang dibandingkan dengan Australia ihwal sejarah kelam di masa silam. Perdana Menteri Australia Kevin Rudd dielu-elukan karena meminta maaf atas genosida kulit putih terhadap suku Aborigin 200 tahun lalu. Banyak aktivis berharap, langkah ini ditiru pemerintah kepada para korban 1965-1966. Perbandingan ini menurut IAD begitu naif karena dalam kasus Indonesia, definisi pelaku dan korban tidak setegas Australia. Di Indonesia, baik pelaku maupun korban memiliki kesamaan warna kulit, bahasa, dan masing-masing punya versi sejarahnya sendiri. Di Indonesia masih banyak saksi sejarah yang hidup sementara di Australia semua pelaku sudah wafat. Jika proses rekonsiliasi di negeri koala itu memakan 200 tahun, IAD menganggap mustahil jika Indonesia bisa menempuh waktu yang lebih cepat.


Bersinggungan dengan banyak etnis juga membuat IAD banyak berbicara perkara identitas yang seringkali digeneralisasi. Ia menyinggung soal etnis “Negeri Anu” yang dicap kasar, orang-orang dengan penampilan kemarab yang dicap ingin mengarabkan Indonesia, penyematan identitas Yahudi tanpa membedakan ras, agama, atau pemeluk agama, dan lain sebagainya. Terkait isu ini ia mencatat satu kesimpulan menarik,


 “…bahwa manusia tidak berhak dihukum karena warna kulitnya, karena kebangsaannya, karena etnisnya, atau karena latar budayanya. Manusia diberi apresiasi dan sanksi semata berdasar perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.” (hal. 66)


Membaca buku IAD seperti berhadapan dengan sosok yang hangat, humoris, dan senantiasa mengingatkan untuk bersikap adil. Adil dalam mencerna informasi, adil dalam mendudukkan persoalan, adil dalam menilai segala sesuatu di sekeliling kita. Caranya adalah dengan terus menggali perspektif, terbuka terhadap berbagai kebenaran, dan tak henti merangkai makna. Dengan penulisan khas IAD yang mudah dipahami, tidak berbunga-bunga dan penuh jargon untuk memberi kesan pintar, buku ini cocok dibaca siapa saja yang sedang membutuhkan ‘rest area’. Meski sederhana, apa yang disajikan kumpulan tulisan ini sama sekali tidak sederhana. Jika harus menyebut kekurangan, judul-judul esai yang hanya menggunakan satu kata cukup menyulitkan pembaca melacak kembali di mana topik-topik tertentu dituliskan. Selebihnya, buku ini patut dibaca demi membangun keterampilan mengolah informasi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *