Home Ads

Rabu, 14 September 2022

Resensi Yang Terlupakan dan Dilupakan, Membaca Kembali Sepuluh Penulis Perempuan Indonesia, Karya Giovanni Dessy Austriningrum, dkk.

source: marjinkiri.com

Judul: Yang Terlupakan dan Dilupakan, Membaca Kembali Sepuluh Penulis Perempuan Indonesia

Penulis: Giovanni Dessy Austriningrum, Isyana Astharini, Rain Chudori, Dwi Ratih Ramadhany, Ni Made Purnamasari, Aura Asmaradana, Nur Janti, Ayu Puspita Sari Ningsih, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, Dhianita Kusuma Pertiwi

Genre: Nonfiksi

Tahun terbit: Oktober 2021

Penerbit: Marjin Kiri

Peresensi: Iva Misbah


Kalau saya ingat-ingat dan diminta menyebut perempuan penulis Indonesia angkatan lama, mungkin saya hanya bisa menyebut nama Nh. Dini, Mira W., dan Marga T. Lain dari nama ketiganya, saya hampir tak tahu; atau kalau masih ada yang terlupa, itu menunjukkan pengetahuan saya tentang perempuan penulis angkatan lama begitu dangkal.

Koleksi bacaan saya sebenarnya begitu diwarnai oleh para penulis perempuan. Sebut saja Clara Ng, Oka Rusmini, Dewi Lestari, Okky Madasari, Leila S. Chudori, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Ratih Kumala, juga Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Pipit Senja, dan Ari Nur dari kelompok penulis Islami. Kesemua nama tersebut relatif baru, karya-karyanya baru muncul di tahun 90-an dan semakin mekar pascareformasi. Hari ini, nama-nama perempuan penulis yang mengisi khasanah bacaan saya makin banyak dengan keragaman jenis tulisan yang makin variatif pula. Lala Bohang, misalnya, menyajikan ilustrasi-ilustrasi monokrom dan prosa-prosa pendek sebagai pemantik renungan tentang eksistensi kita dan relasi yang kita miliki dalam karya-karyanya. Menggunakan bahasa Inggris, Bohang mewakili perempuan masa kini dari kelas menengah urban, well educated, dan memiliki previlege waktu untuk merenung. Ada lagi, Muna Masyari dan Dwi Ratih Ramadhany yang konsisten mengangkat kisah-kisah perempuan Madura dalam cerpen-cerpen dan novel mereka; Kalis Mardiasih, yang memilih jenis esai pendek dan ringan untuk mengupas persoalan-persoalan perempuan, ketidakadilan gender, dan realitas keberagamaan kita sehari-hari; dan Andina Subarja, penulis buku anak cum ilustrator yang menghadirkan cerita-cerita seru untuk anak baca bersama ayah-bunda di rumah.

Suara-suara perempuan penulis yang beraneka jenis dan berupa-rupa itu, dari romansa hingga kritik norma sosial, dari khotbah agama hingga cerita anak, sesungguhnya terus menggema dan mengisi ruang-ruang literasi kita yang membentang secara historis dari masa kolonial bahkan mungkin jauh ke belakang. Adalah buku “Yang Terlupakan dan Dilupakan, Membaca Kembali Sepuluh Penulis Perempuan Indonesia ” (YTDD-MKSPPI) yang mencoba mengisi kekosongan pengetahuan dan ingatan kita tentang penulis-penulis perempuan yang tidak terekam sejarah dan pudar dari perbincangan-perbincangan dunia sastrawi dan literasi kita. Ditulis oleh sepuluh penulis perempuan muda, buku yang dimaksud memaparkan cerita hidup dan kekaryaan para penulis perempuan dari masa kolonial, awal masa kemerdekaan, hingga tahun-tahun reformasi, yaitu: S. Rukiah Kertapati, Suwarsih Djojopuspito, Omi Intan Naomi, Ratna Indraswari Ibrahim, Sugiarti Siswadi, Saadah Alim, Maria Ulfah, Hamidah/Fatimah Hasan Delais, Dahlia/Tan Lam Nio, dan Charlotte Salawati.

Jujur, dari kesepuluh nama penulis perempuan yang diulas dalam buku YTDD-MKSPPI, tak ada satu pun karya dari mereka yang saya tahu. Sepintas lalu pernah tahu nama Sugiarti Siswadi dari sebuah sampul buku karya Fairuzul Mumtaz terbitan I:BOEKOE yang mengkaji sosok dan karya Sugiarti Siswadi sekaligus menerbitkan ulang karya-karya Sugiarti Siswadi dalam kesatuan bukunya,  “Karya-Karya Lengkap Sugiarti Siswadi: Hayat Kreatif Sastrawan Lekra” (2016). Lalu nama Maria Ulfah yang sering saya temui dalam literatur kajian gender dan feminisme di Indonesia, tapi sayangnya saya tak cukup ulet untuk mencari tahu karya beliau. Buku YTDD-MKSPPI kemudian jadi kesempatan emas untuk membaca rekam jejak karya, kehidupan, dan aktivisme para penulis perempuan pendahulu yang jauh terpisah secara ruang dan waktu dengan saya, dengan kita hari ini, tapi tentu telah memberi banyak pengaruh pada kehidupan perempuan Indonesia hari ini.

Kalimat pada laman pengantar buku YTDD-MKSPPI merangkum dengan baik maksud dari diterbitkannya buku ini, yakni untuk memperlihatkan pada kita, para pemuda generasi terkini, bahwa dulu:

“para perempuan penulis yang kami teliti pernah berjuang sepadan dengan pada lelaki dalam berbagai bidang kehidupan yang disentuhnya, sedari perjuangan untuk meraih kemerdekaan bangsa, membicarakan perihal sejarah kolonialisme, mendirikan majalan ataupun surat kabar, membuat sekolah keterampilan, menghibur kawan sesama tahanan penjara, menjadi istri yang setia dan memberi keteguhan kepada suaminya dalam berkarya, menjadi pemimpin redaksi atau redaktur, ataupun terlibat di kehidupan politik dan partai, dan terutama, mereka menulis karya-karya yang betapa kayanya untuk ditelusuri kembali.” (hlm. viii)

Dengan kata lain, sejarah bangsa kita selalu diisi oleh perempuan-perempuan hebat yang aktif berkontribusi bagi kehidupan bersama di level negara, bangsa, dan masyarakat melalui aktivisme di partai, organisasi massa, kesenian, karya sastra, atau mengelola media massa, sekaligus merawat kehidupan di ranah-ranah personal secara progresif dengan memegang kuat nilai-nilai egalitarian, humanisme, kesetaraan, anti-diskriminasi, dan pembebasan dalam lingkungan keluarga dan teman-teman terdekatnya.

Sambil membaca kisah-kisah mereka, visualisasi kehidupan yang mereka jalani, juga semangat yang menggerakkan tulisan-tulisan hingga lahir darinya berputar di kepala. Saya membayangkan kos-kosan milik Ratna Indraswari Ibrahim yang ramai oleh aktivis reformasi dan sosok Ratna yang melindungi mereka ketika polisi atau tentara datang. Dengan kursi rodanya, Ratna tegak memihak para aktivis reformasi yang memperjuangkan demokrasi, pemerintahan bersih korupsi, juga pada perjuangan perempuan yang Ia tuangkan melalui tulisan-tulisannya.

Bayangan S. Rukiah Kertapati yang begitu sibuk juga menari-nari saat membaca kisah tentangnya yang dituturkan oleh Giovanni Dessy Austriningrum. Dia menjadi editor di beberapa majalah—salah satunya Api Kartini (majalah milik Gerwani), kerap berpindah kota, menjadi aktivis dan pegiat Lekra, menulis banyak sekali puisi, cerpen, novel, sekaligus cerita anak. Pada 1965, setelah peristiwa Gestok terjadi, seluruh karya S. Rukiah dilarang beredar dan puisi-puisinya yang banyak dimuat dalam antologi puisi Gema Tanah Air besutan HB. Jassin, dihilangkan pada terbitan ulangnya. Bayangan S. Rukiah yang ditahan (dari tahun 1967 sampai 1969), berpisah dari anak-anak juga suaminya, dan ketegarannya menjalani hidup setelah dibebaskan dengan bekerja serabutan, serta tak pernah lagi bisa bertemu dengan suaminya sejak peristiwa Gestok hingga akhir hayatnya, sungguh memerihkan hati.

Atau Omi Intan Naomi yang begitu “bebas”, tak membiarkan dirinya terikat pada kategori-kategori. Ia menenggelamkan diri pada dunia tanpa batas; mengabadikan pikiran, impian, dan gagasannya di dunia internet, di luar pengawasan penguasa (hlm. 95). Ada juga Dahlia, ratu cerita roman yang kisah hidupnya tetap jadi misteri. Juga Maria Ulfah, seorang aktivis perempuan dengan kiprah besar dalam Kongres Perempuan Indonesia (KPI) yang menjadi tonggak penting dalam sejarah perempuan Indonesia dan pengaruhnya menjejak hingga kini.

Kesemua kisah begitu bewarna, gegap gempita oleh pergolakan dan perjuangan. Tak terkecuali tulisan yang mereka hasilkan. Dari seluruh pembacaan atas karya-karya kesepuluh penulis perempuan dalam buku YTDD-MKSPPI, secara umum karya mereka mengangkat topik persoalan yang merentang luas dari satu penulis ke penulis lainnya, namun hampir seluruhnya masih menjadi—dalam bahasa Nur Janti saat mengulas Maria Ulfah—"masalah yang tak selesai sampai merdeka” dan disebut Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie sebagai isu yang “masih begitu nyata di hari kalimat ini ditulis”. Sebut saja soal-soal mengenai poligami, perjodohan, kawin paksa, korupsi, orang-orang yang terpinggirkan, hak buruh, dst. Artinya karya-karya para penulis perempuan terdahulu merangkum sekaligus mendokumentasikan ragam persoalan yang khususnya dialami perempuan.

“Dan inilah yang buat saya menjadikan karya-karyanya tetap terasa begitu dekat bahkan setelah puluhan tahun berlalu sejak ia terlahir. Permasalahan-permasalahan yang diangkatnya, pada kenyataan kita di masa ini, tetap ada. Aturan-aturan dan padangan orang luar yang mendikte perempuan tentang cara ia harus bersikap dan bertutur atau berpendapat dan berpakaian, pendidikan dan pekerjaan dan relevansinya dengan “takdir” perempuan, penganiayaan batin dalam pernikahan, poligami, kesetaraan hak, keberhargaan diri—semua ini masih begitu nyata di hari kalimat ini ditulis.

Lebih miris lagi, ini ditemukan juga dalam karya-karya penulis perempuan lain tanpa pandang era, ras, maupun usia. Melalui pembacaan dan pemikiran lebih panjang atas karya-karya Dahlia, saya merasakan keperluan bagi pembaca-pembaca lain untuk memikirkan betapa menyakitkannya kemahaberadaan penindasan perempuan semacam ini. Isu-isu ini tidak seharusnya menjadi permasalahan yang ever-present dan everyshere—menembus batasan waktu dan geografi.” (Zezsyazeoviennazabrizkie, hlm. 241-242)

Sayangnya, kontribusi yang signifikan dari para perempuan tersebut belum luas dikenali oleh generasi hari ini karena berbagai alasan: dokumentasi karya yang buruk, kajian akan sosok dalam bidang sastra dan perempuan belum maju, posisi perempuan penulis yang masih cenderung dikesampingkan, tradisi literasi kita yang rendah, dan dalam beberapa kasus nama-nama perempuan penulis terdahulu memang secara sengaja dihilangkan dan dilupakan agar tak lagi dikenali (misal pada kasus S. Rukiah Kertapati dan Sugiarti Siswadi yang dianggap penganut komunisme karena afiliasi mereka dengan Lekra, sehingga menyebabkan keduanya ditangkap dan ditahan pada tahun 1966). Dibutuhkan usaha dan kerja keras untuk melacak kembali sosok-sosok serta kelindannya dengan sejarah masa lalu bangsa kita agar kita semakin melek sejarah dan mampu mengapresiasi segala proses dan peristiwa yang telah berlalu sebagai akar kehidupan kita hari ini. YTDD-MKSPPI adalah salah satu langkah, yang bahkan setelah kerja keras para peneliti dan penulisnya, tetap terbilang jangkauannya kecil: hanya sepuluh perempuan penulis! Yang belum terlacak dan terkaji, pastilah jauh lebih banyak. Terbitnya YTDD-MKSPPI selain mengisi kekosongan ingatan kolektif bangsa kita, sekaligus menjadi pengingat dan penggugat akan banyaknya ceruk-ceruk kosong dalam catatan sejarah yang perlu segera diisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PerempuanMembaca

Semua penulis di sini adalah perempuan yang menyempatkan waktu untuk membaca, budaya yang hampir punah ditelan oleh kesibukan, budaya yang hampir punah tergantikan oleh membaca status sosmed atau berita versi digital. Kami merindukan aroma buku, kami merindukan rehat dan bergelut dengan buku sambi menikmati secangkir teh atau kopi.




Cara Gabung Komunitas

Cara Gabung Komunitas

Cari

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *