dokumentasi: Iyom Alexandria |
Resensi Buku: 1Q 84 Jilid 1
Penulis: Haruki Murakami
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit: 2013
Tebal Halaman: 516
Peresensi: Iyom Alexandria
Buku ini mengisahkan dua sisi kehidupan manusia pada tahun 1984: Aomame dan Tengo, tahun yang juga pernah diabadikan oleh George Orwell. Dua takdir ini saling berkelindan erat, hingga dunia mereka tiba-tiba berubah menjadi membingungkan sekaligus berbahaya.
Tengo adalah seorang novelis yang tidak benar-benar memahami perempuan. Aomame, di sisi lain, memilih jalan berisiko demi menuntaskan penderitaan perempuan-perempuan yang disiksa oleh laki-laki.
Banyak catatan penting dalam buku ini, sebab isu-isu yang diangkat Murakami masih sangat relevan dengan situasi hari ini. Ia berani mendobrak tabu, membahas feminisme, dan mengkritik perbedaan mentalitas laki-laki dan perempuan yang menurutnya berakar pada sistem reproduksi.
Perempuan, dengan jumlah sel telur yang terbatas, hidup dengan naluri melindunginya. Namun, dalam budaya patriarki, mereka kerap dipaksa terus melahirkan, kehilangan hak-hak kemanusiaannya, dan mengalami luka yang tidak selalu berbentuk fisik. Motivasi yang benar pun tidak selalu menghasilkan hal yang benar. Sasaran kekerasan bukan hanya tubuh; luka tidak selalu mengeluarkan darah.
Dalam novel ini, perempuan menjadi pusat cerita, bukan karena kelemahan, tetapi karena dunia yang tidak adil terhadap mereka.
Murakami juga menyisipkan kisah tentang orang Giliyak, penduduk asli Sakhalin sebelum datangnya penjajahan Rusia. Awalnya mereka tinggal di selatan, lalu terusir ke utara oleh orang Ainu dari Hokkaido, hingga akhirnya menetap di tengah pulau. Budaya patriarki juga kental di sana: semua laki-laki, baik tua maupun anak-anak, memiliki kedudukan setara; bahkan seorang ibu bisa diusir oleh anak laki-lakinya. Jika seseorang menawarkan bir, anak laki-laki pun berhak atasnya. Perempuan, sebaliknya, dipandang setara dengan binatang. Betapa getirnya hidup di tengah kemelut patriarki.
Tahun 1984 versi Orwell menggambarkan masyarakat yang dikontrol ketat oleh diktator “Bung Besar.” Informasi dibatasi, sejarah direvisi tanpa henti, dan bahasa dimanipulasi hingga maknanya berubah. Sejarah lama dibuang, sejarah baru diciptakan, begitu seterusnya, hingga kebenaran menjadi kabur. Tak ada lagi kepastian siapa kawan dan siapa lawan.
Membaca Murakami seperti menyusuri dua ujung spektrum emosi: sedih yang paling dalam dan bahagia yang paling puncak. 1Q 84 adalah karya yang melampaui realitas. Di akhir cerita, aku selalu merasa bahagia karena Murakami mampu mengekspresikan perasaan-perasaan yang sulit digambarkan dan pahami. Hidup memang terus terasa aneh dan membingungkan, dan mencintai Murakami adalah salah satu caraku menemukan kebebasan.
“Tapi kalau bisa mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh, walau sebajingan apa pun itu, walau dia tidak mencintaiku, setidaknya kehidupan ini bukan neraka, meski agak murung.”
“Kekerasan tidak selalu bersifat fisik, luka tidak selalu mengeluarkan darah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar